Katamu, senja adalah sebaik-baik guru waktu, yang tak pernah bosan memberi pelajaran bagaimana sebaiknya rindu itu diperlakukan. Meski pada kenyataanya kita lebih sering memperlakukan rindu dengan semena-mena tanpa rasa iba tanpa belas kasihan.
Jika senja ini aku kembali memunguti rindu yang berceceran di atas batu, semoga engkau mau mengerti itu. Mengapa aku begitu. Jangan lantas engkau berpikir pintas. Bahwa aku sudah kehilangan nalar dan otak yang waras.
Jika boleh aku menjelaskan. Mengapa aku berperilaku demikian. Memunguti rindu, memasukkannya ke dalam cawan-cawan berisi candu. Itu agar aku sejenak bisa melupakanmu. Juga jejak-jejak kenangan. Yang pernah kita titipkan pada sekumpulan awan dan pada sekawanan hujan.
Asal engkau tahu. Ketika engkau memilih pergi dari hidupku. Rindu yang kugenggam sempat kuhancur leburkan. Kupalu dan kuremuk redamkan. Hingga merupa serpihan-serpihan. Yang berserakan di atas pipi-pipi licin bebatuan.
Kini ketika bayanganmu kembali hadir. Membuatku terbangun dari mimpi yang nyaris melampaui batas titik nadir. Aku kembali menjumputi satu demi satu rindu, yang tercecer di atas batu. Lalu, aku ingin melemparkannya segera, sekuat tenaga, ke wajah beringas senja.
Tentu saja. Setelah terlebih dahulu aku meludahinya. Dengan semburan bisa. Bercampur airmata.
Bah!
***
Malang, 12 Maret 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H