Jangan mati dulu, Tuan. Sebelum kita bertemu untuk saling bertukar cinderamata. Kuambil mata sebelah kirimu. Dan kauambil mata sebelah kananku. Agar di setiap kali menatap isi dunia. Yang terlihat oleh kita adalah pendar-pendar dari cahaya cinta yang sama.
Jangan mati dulu, Tuan. Sebelum semasing diri memberi sejuring hati. Kuletakkan separuh hatimu di samping kiri dadaku. Dan kauletakkan seiris hatiku bersebelahan dengan tulang rusukmu. Agar di setiap hela napas yang kita hirup. Jantung kita sejalan, seirama dalam degup.
Jangan mati dulu, Tuan. Sebelum kita duduk berdua mengangkat gelas untuk bersulang. Menghabiskan malam indah bertabur bintang-bintang. Kauteguk darah segar dari ubun-ubunku. Kan kusesap darah manis dari setiap ujung jemari tanganmu. Sebagai penanda. Jiwa raga ini telah resmi menjadi satu.
Jangan mati dulu, Tuan! Sebelum batu purba selesai dipahat dan diukir. Dengan sebatang jarum tumpul berukuran paling kecil. Berkurun waktu hingga seribu tahun lagi. Untuk memberi dua hati kesempatan. Menuntaskan dendam rindu yang lama terabaikan.
***
Malang, 22 Januari 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H