Tampilannya sudah kusam. Pintunya pun sudah rusak. Tapi aku belum ingin menggantinya.
Anak-anak berkali-kali memprotes. Menyuruh menyingkirkan saja lemari kayu itu. Alasan mereka, barang itu sudah tidak memadai lagi. Bahkan si sulung, Ainun, sempat menawarkan untuk membelikan yang baru.
"Itu lemari kenangan, Nun. Ibu tidak sampai hati menyingkirkannya," aku tetap bersikeras. Jika sudah begitu, tak satu pun dari anak-anakku yang berani bicara lagi. Mereka tahu, tidak bakal berhasil membujukku.
Aku memang tergolong keras kepala. Apalagi jika itu ada hubungannya dengan kenangan. Ada hal-hal indah yang tidak bisa tergantikan. Sekalipun oleh perjalanan waktu.
Masih bisa kuingat bagaimana Mas Siswoyo berjuang keras hanya agar bisa membelikan lemari itu.
Saat itu hidup kami memang masih diuji. Serba pas-pasan. Belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di sebuah rumah yang ukurannya tidak begitu besar.
Sementara Mas Sis---begitu aku memanggilnya, kala itu hanya seorang pegawai serabutan.
Jika kukatakan lemari itu adalah satu-satunya barang paling berharga yang kami miliki, tentu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Untuk mendapatkannya, Mas Sis harus rajin lembur. Rajin menabung. Dan kami rajin pula mengencangkan ikat pinggang.
Saat keinginan memiliki lemari pakaian itu kesampaian, jangan ditanya bagaimana perasaan kami. Bahagia sekali. Hingga tanpa sadar kami berpelukan cukup lama.
Dan lemari itu pula yang berhasil menyelamatkan perkawinan kami yang nyaris terdampar.
Ceritanya, kehidupan kami mulai berubah ketika Mas Sis akhirnya diangkat sebagai pegawai tetap di tempat ia bekerja. Bukan hanya itu, ia dipercaya menempati posisi yang lumayan berpengaruh. Dampaknya kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Kami sudah bisa membangun rumah sendiri meski masih tergolong sederhana.