Senja baru saja pamit pulang. Ketika seorang lelaki duduk meringkuk di sudut kafe yang lengang. Kopi hitam di atas meja tinggal ampasnya. Sementara hujan di pelataran masih berlompatan tak kunjung reda.
Jarum jam terus berdetak. Waktu tak bisa lagi dielak. Lelaki di sudut kafe menggigil kedinginan. Di kepalanya mulai berebut beragam pertanyaan.
Apa sebenarnya yang kutakutkan dari hujan? Mengapa aku begitu membenci hujan? Apakah karena hujan telah menyembunyikan begitu banyak kenangan?
Lelaki itu berdiri. Menatap bayangannya sendiri.
Dari balik jendela kafe yang kacanya memburam. Di bawah sorot lampu jalanan yang temaram. Dilihatnya hujan masih melenggang serupa anak perawan yang kesepian.
Kemudian. Hujan merintih kesakitan. Entah oleh musabab apa. Menjadikan lelaki itu ketakutan. Ia tak bisa lagi membedakan. Apakah yang ia dengar tangisan hujan ataukah mantra kutukan.
Lelaki akhirnya nekat. Beranjak menembus hujan yang lebat. Melawan beringasnnya dingin yang gigil dan pekat.
Dan, ketika hujan mulai mereda. Orang-orang menemukan tubuh lelaki itu diam. Beku. Merupa batu.
***
Malang, 09 Januari 2019
Lilik Fatimah Azzahra