Kalau bukan karena cinta. Tiadalah aku berada di sini. Mendekap-dekap sunyi. Memuja-muja mimpi. Lalu tersenyum. Menghidu udara malam yang ranum. Mengirim larik-larik puisi. Kepadamu. Menceritakan perihal pohon kemangi yang tumbuh liar di halaman. Yang pada setiap helai daunnya mengabarkan wewangi asa dan menguarkan aroma harapan.
Kalau bukan karena cinta. Untuk apa kembara kembali menapak tilas jalan menuju pulang. Menanggalkan dan meninggalkan segala atribut tentang si anak hilang. Demi seseorang? Tentu saja! Seseorang yang dirindui siang dan malam. Yang senyumnya mampu menguasai kerajaan pagi. Dan tawanya mengalahkan semesta hari.
Kalau bukan karena cinta. Untuk apa diri menderas-deras keinginan. Menerjang segala rintang. Selayak ksatria maju ke medan perang. Menembus batas keniscayaan. Bahkan tak segan menasbihkan diri. Rela mati di ujung mata pedang. Entah itu pedang berkecamuk rindu. Ataukah pedang beramuk rasa cemburu.
Kalau bukan karena cinta. Tidak akan aku berdiri di sini. Menimang-nimang sejauh mana lintas pendulum waktu berayun. Menimbang-nimbang selapang apa bumi dan cakrawala kan bertabayun. Agar kutemukan kesempatan itu. Memilih dan memilin akar pohon lilin. Menjadikannya jembatan. Yang akan menghantar langkahku. Ringan. Menujumu.
***
Malang, 16 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H