Ayah Sang, begitu aku memanggilnya. Ia mengajari aku banyak hal. Membaca, menulis, memasak, juga menari. Ia begitu menyayangiku. Akibatnya aku sangat bergantung dan manja sekali padanya.
Meski kami tinggal hanya berdua, Ayah Sang selalu berusaha memberi yang terbaik untukku.
Pagi hari saat bangun tidur, sarapan sudah terhidang di atas meja. Air hangat untuk mandi juga sudah tersedia di dalam bak besar. Ayah Sang rela melakukan semua itu untukku. Dan setelah aku menghabiskan sarapan, dengan senyum sumringah lelaki baik itu tak segan mengantarku pergi ke sekolah.
Begitu setiap hari. Kemanjaan ini aku terima dan aku rasakan nyaris tak pernah terhenti hingga usiaku beranjak remaja.
Aku masih ingat, suatu hari Ayah Sang terlihat amat panik ketika memergokiku meringis sembari memegangi perut bagian bawah.
"Kau sakit, Kinasih?"
Setengah mengerang aku mengangguk. Mengiyakan. Dan itu membuat wajah Ayah Sang bertambah cemas.
Dengan mengendarai sepeda motor bututnya, Ayah Sang bergegas melarikanku ke klinik terdekat.
"Bapak tidak perlu khawatir. Putri Bapak sedang mengalami kram jelang haid pertama," Bu bidan yang memeriksaku melempar senyum ke arah kami berdua.
"Oh, syukurlah. Saya khawatir Kinasih terserang penyakit serius," Ayah Sang menghela napas lega seraya menyeka peluh yang membasahi keningnya.
"Saya akan memberi obat pereda rasa nyeri. Nanti kalau nyerinya sudah hilang, pemakaian harap dihentikan," Bu bidan berdiri. Mengambil beberapa bungkus obat dari lemari kaca yang terletak di sudut ruangan.