Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Puisi | Perempuan dan Petrichor

Diperbarui: 21 Oktober 2018   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pinterest.com/wasmistaken17

Ia mengagumi hujan. Seperti mengagumi guratan lukisan maha dahsyat. Karya ajaib para malaikat. 

Ia menghidu semerbak wangi bebauan tanah. Berulang-ulang. Tanpa jeda. Seperti mencium harum bayi merah yang baru terlahir ke dunia. Ia lupakan sejenak segala syak wasangka. Pikiran pandir. Setelah sekian lama berseteru dengan takdir yang tak jua kunjung berakhir.

Petrichor perlahan merasuk ke dalam sukma. Membasuh jiwa yang dipeluhi dan dipenuhi luka. Memar tanpa darah. Berusaha menyalakan kembali bara api dalam setiap lubang pori-pori. Yang nyaris padam tersebab terlalu lama tersimpan. Di dalam lemari besi berdinding beku dan kesunyian.

Perempuan itu menari-nari di tengah deru deras alunan rinai. Ia berdansa bersuka cita tiada henti. Melenggang riang ke sana ke mari membebaskan pasung hati. Menampak jelas pada binar mata dan wajah jelita berseri-seri.

Di atas tanah gering yang kini mulai membasah. Oleh tumpah ruah dan genangan hujan bercampur airmata. Perempuan dan petrichor berkelindan melahirkan legenda. 

Bahwa suatu ketika, di sebuah negeri di ruang sempit bernama kepala. Rindu dan cinta ditakdirkan bersua. Dalam perhelatan pesta yang digelar di atas panggung musim yang divonis salah. Sebegitu sederhana. Sedemikian istimewa.

***

Malang, 21 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline