Perempuan itu baru saja bangkit. Dari kubur cinta yang amat sempit. Sembari menangkup rembulan di kedua tangan ia berdiri di pusat kegelapan.
Di sana, di bawah sederet pohon kamboja, yang akar dan batangnya sudah menua, berjejer rapi batu prasasti. Semua tertulis atas nama perempuan itu. Yang mengaku telah mati sebanyak tiga kali.
Rembulan di tangan menggeliat perlahan. Itu pertanda ia minta dilepaskan. Sejenak perempuan menengadah ke arah langit. Menatap barisan awan sembari berkomat-kamit.
Kali ini aku akan bertahan. Meski hatiku rajam tak keruan. Aku telah bertemu pandai besi yang berjanji akan membantu melebur hati menjadi pisau belati.
Aku berjanji tak mau mati lagi. Meski kenangan menakuti dengan berbagai intimidasi. Aku sudah memutuskan menjadi perempuan pemberani. Yang tak lagi dikuasai oleh ketakutan tak bertepi.
Sedang untuk airmata yang terlanjur terhambur. Darinya akan kubangun semacam menara. Agar sewaktu-waktu camar yang terbang jauh bisa singgah melepas lelah.
Pada tiga batu nisan yang terlanjur tertulis indah namaku aku berharap cuaca segera melaburnya. Semoga para peziarah cinta tak lagi urun berurai airmata.
Lalu bulan terlepas bebas menuju angkasa yang luas. Membawa serta perempuan yang tak mau lagi mati hanya karena hatinya terlalu sering disakiti.
***
Malang, 23 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra