Tuan, buatkan aku rembulan! Perempuan itu berseru lantang kepada seorang pandai besi yang kebetulan istirahat di bawah pohon Mahoni. Dari atas menara tinggi yang dijaga ketat oleh sepasukan naga perempuan itu melongokkan wajah.
Lelaki yang dipanggil Tuan lantas gegas berdiri. Menengadahkan kepala mencari asal suara. Dilihatnya rambut perempuan yang tersandera berjuntai keluar jendela. Dengan langkah hati-hati ia melewati barisan naga yang sesekali meroar dengan mulut menyemburkan bara.
Saat lelaki pandai besi berhasil mencapai puncak menara. Perempuan tersandera berdiri gugup gagap menyambut. Tak mengira seruan asalnya didengar dan bergayung sambut.
Aku akan membuatkanmu rembulan! Lelaki pandai besi tegas menjanjikan. Perempuan tersandera hanya membisu diam. Hatinya riuh diliputi sejuta keraguan. Apakah mungkin lelaki di hadapan mampu mewujudkan keinginan?
Dari apa Tuan akan menciptakan rembulan? Perempuan tersandera bertanya perlahan.
Lelaki pandai besi riang menjelaskan.
Rembulan yang kucipta terbuat dari remah kata-kata. Yang kuramu bukan dari sembarang racikan. Yang menjelma menjadi larik-larik puisi. Dimantik oleh api bernama kesungguhan hati.
Lalu lelaki pandai besi mulai menyiapkan pediangan. Di atasnya kuali besar diletakkan. Berlembar-lembar puisi kemudian dimasukkan.
Sembari menunggu rembulan masak mendidih, lelaki pandai besi mengulurkan tangan.
Rembulanku tak akan sempurna tanpa keheningan dan penyatuan rasa. Sini mendekatlah. Kita turun ke lantai dansa. Kita lupakan perihal kerumitan dunia. Kita ciptakan dunia sendiri yang lebih indah. Dunia yang penghuninya hanya kita. Mataharinya adalah cinta. Hujannya bukan airmata. Dan rembulannya sebentar lagi akan tercipta.
***