Di suatu senja, di hampar pesisir seorang laki-laki duduk berkalang pasir. Bisu menatap kilau dan biru air. Mengindahkan kecomang yang hilir mudik melenggang di hadapan. Menyilakan ombak dan karang berpukulan memamerkan semacam atraksi pertunjukan.
Sementara di tepi laut yang sama seorang perempuan berdiri gamang. Menatap barisan camar yang wira-wiri terbang merendah. Sesekali kakinya yang basah terangkat menghindari ombak dan deburan. Pada hatinya yang patah ia berusaha menanam semacam pohon tabah.
Ini hampir satu setengah jam sejak senja datang bertamu. Tapi laki-laki di atas pasir masih duduk diam termangu. Sedang perempuan di tepi laut berkali tersenyum samar. Pada cintanya yang hambar ia mencoba menawarkan harapan.
Jika memang benar laut mampu menyatukan perasaan. Mengapa lelaki itu tak kunjung berdiri? Setidaknya ia bisa mengusir camar dengan satu hentakan kaki. Atau menjentik kecomang dengan beberapa sentakan jari.
Baru ketika ombak besar datang bergulung. Lelaki di atas pasir gegas lari terhuyung. Meraih pinggang perempuan yang nyaris direbut laut. Membawanya ke tepi dengan jemari saling bertaut.
Entah siapa yang memulai kemudian. Tepat di saat senja berpamit pulang. Tetiba saja bibir yang dingin berpagut saling menghangatkan.
***
Malang, 16 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H