Ada yang bilang, jika nasibmu selalu sial, maka peliharalah seekor kucing. Maka keberuntungan akan menghampirimu.
Sayang sekali saya tidak suka kucing. Dan sayangnya juga nasib saya tidak selalu sial. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk memelihara seekor kucing.
Tapi saya tidak bisa menolak ketika suatu siang, sepulang sekolah--Denok, anak gadis saya, membawa kardus yang di dalamnya berisi seekor kucing. Saya terkejut dan sedikit panik. Bukan apa-apa. Sudah saya jelaskan. Saya tidak menyukai kucing. Kucing jenis apa pun. Baik itu kucing lokal maupun kucing keturunan.
"Mama, titip hewan lucu ini ya. Kasihan, dia tadi kebingungan di tengah jalan," Denok berkata seraya meletakkan kardus berisi kucing itu begitu saja di dekat saya.
"Dia ras Anggora, Ma," Denok melanjutkan.
"Hewan ini pasti ada yang punya, Nok. Jadi untuk apa kamu bawa pulang?" akhirnya keluar juga suara saya.
"Itulah, Ma. Semoga pemiliknya segera datang mencari. Kasihan si Mawat harus terpisah dari tuannya," Denok berjongkok. Membuka tutup kardus lebar-lebar dan membiarkan kucing yang meringkuk di dalamnya melompat keluar.
"Mawat?" saya mundur beberapa langkah.
"Iya, Mawat. Aku yang memberi nama dia begitu."
Tiba-tiba saja tengkuk saya terasa dingin.
"Dia bukan Candramawat kucing Nyi Anteh itu, bukan?" saya menatap Denok tak berkedip. Denok tidak menyahut. Ia hanya tertawa kecil.