Kata-kata itu seperti kita. Kadang butuh tidur, kadang mesti lembur. Kadang ia sabar, tak jarang kurang ajar.
Seperti hari ini, kata-kata bangun pagi-pagi sekali. Menyeruak pintu kamar mandi. Menghampirimu yang sedang termenung, melamun di atas lingkaran jamban.
Padamu yang sedang melamun, kata-kata bebas mengumbar pertanyaan.
Mengapa wakil presiden mesti dipermasalahkan?
Mengapa si hijau melon semakin langka ditemukan?
Mengapa mencari kerja sulit sekali?
Dan mengapa harga-harga melonjak tinggi?
Sementara sigaret yang kuisap tinggal sebatang.
Ah, andai punya kebun tembakau sendiri. Atau punya pabrik rokok sekalian...
Ya, kata-kata di atas jamban. Bersamamu ia liar mengudar harapan.
Tapi itu hanya sebentar. Latu cerutumu berbaur dengan aroma jamban. Membuat kata-kata memilih hengkang. Ia berlari lintang pukang menuju pasar. Di mana tukang sayur setengah umur baru saja menggelar tikar.
Kata-kata mulai beraksi. Menghitung pembeli yang singgah di pagi ini. Baru beberapa bilangan. Kata-kata sudah merasa bosan. Ah, ya, di pasar hidup memang penuh perjuangan, juga perhitungan.
Kata-kata semakin jengah. Lagi-lagi aroma tak sedap datang menyergap. Bau keringat kuli pasar berbaur aroma balsam.
Kata-kata kembali berlari. Ia ingin menghirup aroma wangi. Tapi kemana ia mesti mencari? Oh, itu dia di sana. Seorang gadis berseragam abu-abu putih tengah berdiri. Menyendiri di atas jembatan.
Kata-kata riang melompat. Penuh semangat ia mendekat.
Hidup ini kejam!
Cinta itu jahanam!