"Jadilah pemimpin untuk dirimu terlebih dulu, anakku. Sebelum engkau menjadi pemimpin bagi orang lain."
Ucapan di atas disampaikan oleh Dewi Kunti seraya menggelung rambut panjang putra pertamanya, Raden Puntadewa. Sang bocah yang kala itu baru saja beranjak remaja mendengarkan petuah Ibundanya dengan takzim. Dan gelung keling serta petuah sang Ibu itu kelak akan sangat berguna bagi kehidupannya.
Tentang kelahiran Raden Puntadewa sendiri, dikisahkan--akibat lalai memanah dua ekor kijang jelmaan Resi Kimindama dan Rara Dremi yang sedang asyik masyuk memadu kasih, Prabu Pandudewanata harus rela menjalani kutukan. Ia tidak diperbolehkan menyentuh dan bercinta dengan kedua istrinya, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Jika melanggar kutukan tersebut maka sang Prabu akan mendapat celaka.
Akibat menjalani kutukan tersebut, jauh kemungkinan kedua istri raja Hastinapura itu bisa memiliki keturunan.
Adalah Resi Druwarsa, seorang pertapa tua dari Gunung Saptaarga yang memberi pertolongan kepada Dewi Kunti dengan memberi sebutir mangga ajaib. Mangga Pertanggajiwa itu telah diisi dengan benih kama sang Prabu Pandu. Dan mangga tersebut jika dimakan akan menyebabkan Dewi Kunti mengandung.
Dewi Kunti menerima pemberian Resi Druwarsa dengan penuh suka cita. Ia membagi kebahagiaan dengan tidak memakan mangga itu sendirian. Diirisnya mangga Pertanggajiwa menjadi lima bagian. Dua bagian ia serahkan kepada madunya---Dewi Madrim.
Atas bantuan Batara Dharma, dewa paling baik dan paling sempurna di seantero jagat Kahyangan lahirlah Puntadewa dalam waktu sekejap. Dan banyak yang meyakini, sesungguhnya Puntadewa adalah titisan Batara Dharma itu sendiri.
Namun perjalanan hidup Puntadewa sebagai putra Pandu tidaklah mudah.
Semua berawal dari sang jumeneng ratu. Prabu Pandudewata. Dimana ia adalah pemilik sah kerajaan Hastinapura. Yang wajib mewariskan kerajaannya tersebut kepada putra sulungnya Raden Puntadewa jika kelak ia sudah turun tahta.
Seperti diketahui, ada Bala Kurawa yang tak henti membayangi kehidupan Raden Puntadewa berserta keempat adiknya. Bayang kejahatan dan ambisi yang ditunggangi justru oleh para sesepuh kerajaan itu sendiri.
Usai didapuk menjadi raja Hastinapura menggantikan Ayahandanya, Prabu Puntadewa semakin merasakan bahwa menjadi seorang raja diagung itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Ia teringat kembali kata-kata Ibundanya. Ia harus bisa menjadi memimpin untuk dirinya sendiri sebelum siap memimpin orang lain.