Kisah sebelumnya : Mas Bagas harus menuruti ambisi kedua orang tuanya terjun ke dunia politik. Meski sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya . Untunglah Ajeng, istrinya menyadari hal itu. Maka ketika harus debat kusir melawan pesaing-pesaingnya, disembunyikannya suaminya itu ke tengah hutan.
Lantas siapakah yang menggantikan Mas Bagas maju ke depan podium?
--------------------------
Di dalam mobil, Ryan yang menyamar sebagai Bagas berusaha menyembunyikan kegelisahan. Bulir keringat berlomba membasahi keningnya yang licin. Meski AC mobil sudah dihidupkan, ia tetap saja merasa gerah. Apalagi di sampingnya duduk dua Baginda berwibawa yang sejak tadi memeluk erat lengan kekarnya.
Ryan merutuk dirinya sendiri. Hhh, kenapa juga ia grusa-grusu menerima tawaran Bram. Kenapa juga ia tidak bertanya secara detil peran apa sesungguhnya yang bakal dilakoninya.
Ia ingat sore itu Bram hanya mengatakan, "Tugasmu sangat mudah, Bro. Cuma menyamar sebagai Bagas. Aku yakin kamu pasti bisa. Bukankah kamu anak teater?" Bram menepuk pundaknya. Hanya itu. Lalu sohib gondrongnya itu menyelipkan amplop yang lumayan tebal ke dalam genggamannya. Ia yang kebetulan sedang mengalami krisis keuangan, tentu saja menerima rezeki tak disangka-sangka itu dengan penuh rasa syukur. Dan ia enggan bertanya-tanya lagi, kecuali menyanggupi.
Sekarang setelah penyamaran berlangsung, dirinya baru sadar. Ini bukan sekedar penyamaran biasa.
"Masih ingat wejangan Daddy tempo hari, kan, Gas?" tegur sang Baginda. Mengagetkannya.
"We-jangan? Oh, tentu saja, Dad, aku ingat!"
"Ndak perlu nervous begitu, Nak. Hadapi audience dengan santai," perempuan yang duduk anggun di samping kirinya ikut menimpali.
"Di atas podium nanti, tunjukkan kesantunanmu seperti ini." Bak ratu piningit perempuan anggun itu menganggukkan kepala. "Perhatikan juga gaya bicara. Harus elegan. Gunakan bahasa berkelas."