"Hari ini aku akan menjual tiket dengan harga semurah-murahnya," ujarku tanpa ekpresi.
Masio, pria tua yang tengah duduk termenung di tepi danau itu menoleh sejenak ke arahku. Tangannya yang keriput meraih sesuatu dari balik saku kemejanya yang lusuh.
Sigaret.
Lalu tangan keriput agak bersisik itu bergerak lagi, lincah menyalakan pemantik api. Sementara kedua kaki kurusnya yang berselonjor bergetar-getar sedikit.
"Aku hanya ingin mengingatkan padamu untuk tidak menuruti hawa napsu, Caprio," ujarnya sebelum mengembuskan asap rokok yang keluar secara bergantian dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Aku membisu. Masih berdiri menatap kejauhan. Membiarkan angin sore menerpa wajah pipihku. Terasa dingin.
Langit di sekitar danau yang semula cerah berubah mendung. Tak ada sekawanan camar terbang melintas seperti biasanya.
Mendadak aku teringat Karina. Istriku.
"Semua sudah kehendak takdir. Jadi terima saja dengan ikhlas," lagi, Masio berujar. Seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Kau berkata begitu karena kau sendiri belum pernah menikah," aku mencibir.
"Siapa bilang? Aku sudah beristri dan mempunyai seorang anak," Masio berkata setengah terbatuk.
"Oh, ya? Menikah dengan siapa? Maksudku--apakah istrimu seorang..." kalimatku terpenggal oleh kehadiran beberapa sosok yang berjalan tergesa-gesa ke arahku.