Bagaimanapun juga, sepandai-pandainya aku menyembunyikan perasaan, usai membaca pesan singkat Arumi yang dititipkan kepada Emak, tak urung hatiku berdegup juga. Sebagai orang yang pernah dekat tak mungkin aku tega menolak permintaannya untuk bertemu.
Ya, Arumi tengah menungguku--di suatu tempat. Dan aku tahu di mana tempat itu.
Sekali raih kunci motor sudah berada di dalam genggamanku. Aku menghidupkan mesin kendaraanku itu dengan tergesa hingga menimbulkan bunyi menggerung yang memekakkan telinga.
"Kau tidak boleh pergi menemuinya, Dot!" Emak menghadangku. Tangannya terbuka lebar.
"Tapi, Mak. Tidak biasanya Arumi menangis seperti itu. Pasti telah terjadi sesuatu," aku nyaris menepis tangan Emak.
"Nyebut, Dot! Istigfar!" Emak meninggikan nada suaranya.
Tapi aku sudah gelap mata. Tak bisa dicegah lagi. Aku harus segera menemui Arumi.
Kalau saja Anisa tidak buru-buru muncul di hadapanku, barangkali aku sudah melesat pergi menuju ke suatu tempat di mana Arumi tengah menungguku.
"Assalamualaikum..." Anisa mengucap salam seraya mencium punggung tangan Emak.
"Walaikum salam," Emak menyahut dengan suara serak.
"Loh ada apa ini? Kenapa Emak menangis?" mata Anisa yang berkacamata menyipit. Perlahan ia menarik tangannya yang menangkup di atas punggung tangan Emak.Lalu beralih pandang ke arahku.