Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cerpen | Surat-surat yang Bertebaran di Langit

Diperbarui: 12 April 2021   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Pixabay)

Di setiap bulan Ramadan tak terhitung banyaknya surat yang dikirim menuju langit. Surat-surat itu bertumpuk, tumpang tindih di gudang kantor pos langit. Para malaikat yang bertugas sibuk menyortir surat-surat itu. Memilih dan memilah surat-surat mana yang dianggap terbaik dan bersifat  emergency  untuk kemudian siap dihantarkan ke hadapan Allah.

Surat-surat yang dikirim dari bumi itu berupa lembaran-lembaran putih yang berisi doa-doa, yang dikemas dengan tampilan begitu menawan. Dipersembahkan dengan bahasa yang santun lagi indah. Sebagai bentuk pengharapan bagi pengirimnya agar suratnya sampai dengan selamat dan termasuk kategori surat yang segera diijabahi oleh Allah.

Seperti malam itu, ketika memasuki bulan Ramadan di hari-hari terakhir, sebuah surat melayang-layang ringan di angkasa. Surat itu dikirim oleh seorang bocah. Yang ditulis dengan bahasa bocah. Dikemas dalam amplop yang sesuai dengan ciri khas bocah.

Sumber:fyersrights.org

Meski ditulis oleh tangan seorang bocah, surat itu tetap sampai dengan selamat di gudang kantor pos langit. Para malaikat melihatnya. Lalu beramai-ramai memungutnya.

Salah seorang malaikat bahkan membaca dengan lantang isi surat itu.

-------

Kepada Tuhanku, Allah  yang Tersayang

Sebelumnya perkenalkan namaku Ajeng. Usiaku 8 tahun. Aku baru saja menerima rapot kenaikan kelas. Alhamdulillah. Nilaiku bagus-bagus. Ayah dan Ibuku ikut senang.

Tapi Tuhan, Ajeng tadi sore merasa sedih. Ketika tidak sengaja mendengar percakapan Ayah dan Ibu di ruang tengah. Ayah mengatakan bahwa kontrak kerjanya sebagai buruh pabrik telah habis. Itu berarti Ayah kehilangan pekerjaan. Padahal sebentar lagi lebaran tiba. Tahu sendiri, kan, Tuhan? Di jelang lebaran apa-apa dijual sangat mahal.

Lalu kulihat Ibuku tertunduk. Tapi Ibu tidak menangis. Sebab Ibu memang sudah terbiasa dengan kehidupan kami yang miskin. Ibu cuma berbisik pelan, meminta kepada Ayah untuk lebih menjaga sabar.

Tuhanku yang Maha Baik.

Bisakah aku minta sesuatu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline