Berbicara masalah romantisme keluarga, sungguh membuat saya tercenung. Pikiran saya kembali ke masa lalu. Masa di mana masih memiliki keluarga yang utuh. Ada suami, anak-anak yang di setiap bulan puasa seperti ini kami biasa makan sahur dan buka bersama untuk kemudian berlanjut melaksanakan ibadah tarawih berjamaah,
Lantas apakah saya harus kehilangan romantisme itu sesaat setelah perpisahan merenggut?
Insya Allah tidak. Saya masih berharap memilikinya. Bersama anak-anak saya berusaha menciptakan romantisme ala saya sendiri.
Bersilaturahim ke Panti Asuhan
Tempat paling favorit yang saya kunjungi di saat waktu luang adalah panti asuhan. Tak terkecuali di bulan puasa ini. Di tempat yang penghuninya kebanyakan anak-anak balita dan remaja itu saya menemukan 'sebuah keluarga' yang awalnya bukan keluarga bisa berkumpul, mengaji, berbuka dan makan sahur bersama.
Di tempat itu pula saya belajar banyak hal. Tentang bagaimana mesti belajar sabar dan tabah. Tentang bagaimana memaknai hakikat hidup yang sebenarnya.
Barangkali saya bukan termasuk orang yang romantis. Yang selalu bisa menampilkan atau menunjukkan sesuatu melalui kata-kata yang indah lagi mesra. Saya hanya bisa memberi sedikit sentuhan lembut pada punggung mereka--punggung bocah-bocah berhati tabah itu.
Ah, bisa jadi justru itulah sisi keromantisan yang saya miliki dan tidak pernah saya sadari.
Kembali ke romantisme bulan Ramadan.
Ada banyak di antara kita yang hidup sendiri, sebatang kara tanpa sanak keluarga. Bagaimana mereka menciptakan suasana romantis tanpa keluarga?
Tidak jarang tetangga, teman atau sahabat ujug-ujug bisa menjadi keluarga atau pengganti keluarga. Terutama bagi si anak rantau. Saling bertegur sapa, berkirim kabar, berbagi sedikit makanan pembuka puasa atau sekadar jalan bareng menuju masjid terdekat untuk menjalankan sholat tarawih berjamaah adalah salah satu bentuk keromantisan yang bisa diciptakan di bulan puasa ini.