Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cerpen | Tali Sepatu Ayah

Diperbarui: 5 Maret 2018   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi : www.shutterstock.com

Aku sering melihat Ibu melakukan ini; mengikat tali sepatu Ayah sebelum Ayah berangkat ke kantor. Dan Ayah membiarkannya. Ia sama sekali tidak menolak, atau sekadar bilang, "ini pekerjaan ringan, sayang, aku bisa mengerjakannya sendiri."

Tidak itu saja, usai tali sepatu terjalin rapi, Ibu akan membantu memasangkan dasi pada kerah kemeja Ayah. Lagi-lagi Ayah membiarkannya. Padahal menurutku, kalau mau Ayah bisa melakukannya sendiri tanpa harus merepotkan Ibu. Tidak sulit. Jika hanya melilitkan dasi lalu membentuk simpul sedemikian rupa, kukira Ayah mampu mengerjakannya sendiri. Bukankah dulu saat masih duduk di bangku sekolah pernah diajarkan keterampilan seperti itu? Kalau pun sekarang Ayah sangat tergantung dan selalu mengandalkan bantuan Ibu, kupikir ada dua kemungkinan. Pertama, Ayah itu manja dan kedua ia pemalas.

"Rin. Habiskan sarapanmu. Jangan makan sambil melamun," Ibu menegurku. Agak tergesa aku menyuapkan nasi ke dalam mulutku, karena kulihat Ayah sudah rapi dan bersiap-siap meraih kunci mobil yang---lagi-lagi berada di tangan Ibu.

"Hati-hati di jalan," Ibu mengantar kami hingga di pintu pagar. 

Sepanjang perjalanan menuju sekolah kulihat Ayah duduk di belakang kemudi dengan wajah bahagia. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Sudah waktunya aku menegur Ayah. Menyampaikan uneg-uneg yang selama ini kupendam.

"Ini perihal Ibu, Ayah. Soal kesetaraan gender," aku mulai membuka percakapan.

"Ada apa dengan Ibumu?" Ayah menyahut tenang. Ekspresinya tidak berubah. Pandangannya tetap lurus ke arah depan. 

"Ibu berhak mendapatkan perlakuan yang layak. Kukira selama ini ia menjalani kehidupannya tidak seimbang."

"Apakah Ibumu mengeluhkan sesuatu?" Ayah mengurangi sedikit kecepatan mobil. Dari jauh lampu merah terlihat berkedap-kedip.

"Ibu tidak pernah mengeluhkan apa pun. Tapi aku melihat ketidakadilan setiap pagi terjadi di depan mataku," aku berkata dengan nada serius. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline