Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Ssst, Saya Ingin Jadi Pelakor

Diperbarui: 26 Februari 2018   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : www.hellodoktor.com

"What?! Oh, tidak! Jangan lakukan itu! Jangan pernah berpikir untuk menjadi pelakor! Itu sama saja artinya kamu menjatuhkan harga dirimu sendiri!" Saya dimarahi habis-habisan oleh sahabat saya ketika ia tahu saya berkeinginan menjadi pelakor.

"Ini cuma fiksi kok..." saya menjelaskan sambil tertawa. Tapi tetap saja sahabat saya itu emosional. Ia marah besar sampai keluar asap dari ubun-ubun kepalanya.

Dari percakapan imajinatif tersebut---ya, hanya imajinatif, bukan sungguhan, lantas saya tercenung. Ternyata menjadi pelakor itu susah, ya. Berat. Bahkan hanya dengan membayangkannya saja sudah mendapat banyak tentangan. Dan penentang paling besar adalah hati nurani kita sendiri.

Lantas mengapa masih ada (baca: banyak) perempuan yang nekat memilih menjadi pelakor? Jawabannya tentu saja berbeda-beda. Ada yang mengaku karena dirinya  single  parent.  Ada yang berdalih ini-itu, macem-macem. Meski tidak dipungkiri, dalih  single  parent (baca: janda) adalah  yang paling sering kita dengar. Padahal kenyataannya tidak semua  single  parent  memilih jalan pintas demikian. Banyak kok janda-janda yang bisa melewati hidup mereka dengan lancar, baik-baik tanpa harus mengubah diri menjadi seorang pelakor.

Menyimak pemberitaan yang tengah marak seputar dunia pelakor, jadi teringat tetangga saya---perempuan usia empat puluhan yang sudah memilik tiga orang anak. Tetangga saya  tersebut sering mengeluh kepada saya tentang tabiat suaminya yang gampang sekali tergoda. Tidak sekali dua kali sang suami terpergok sedang berasyik masyuk bersama perempuan lain. Dan hal itu dilakukan tidak hanya dengan satu perempuan.

Suatu hari tetangga saya itu---sebut saja namanya Bunga,  wadul  kepada saya bahwa belakangan suaminya kecantol perempuan lain yang sudah bersuami. Iya benar, bersuami. Bukan single parent.

"Saya sudah lelah menghadapi kelakuan nakal suami saya, Mbak," Bunga menatap saya dengan mata berkaca-kaca. Ia kelihatan sangat tertekan. Saya sempat bingung harus ngomong dan memberi saran apa. Sebab ini menyangkut urusan dapur rumah tangga orang lain yang amat tidak patut jika saya ikut campur di dalamnya.

"Saya ingin sekali melaporkan perempuan itu kepada suaminya. Supaya ia tidak lagi berhubungan atau mengganggu suami saya," kali ini suara Bunga disertai isak tangis.

Saya diam mendengarkan. Ya. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya tahu Bunga cuma butuh teman curhat. Saya sangat maklum dan bisa merasakan penderitaan batin yang dialami oleh Bunga. Berkali-kali dikhianati oleh suami tapi masih mampu bertahan itu sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Saya sendiri belum tentu mampu menjalaninya.

"Kenapa ya, Mbak. Di dunia ini pelakor semakin banyak?" Bunga mendadak mengajukan pertanyaan yang membuat saya terhenyak.

"Padahal suami saya itu orangnya biasa-biasa saja, tidak cakep-cakep amat. Juga tidak kaya. Pekerjaannya pun hanya satpam yang gajinya tidak seberapa, tidak cukup untuk dimakan sebulan. Eh, kok ya masih ada perempuan yang mau dan tergila-gila pada suami saya," Bunga menghapus air matanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline