Pulang dari perantauan pertama kali yang kucari adalah dia. Drupadi. Aku tak peduli meski kulihat air muka Ibu sedikit berubah.
"Mengapa harus gadis itu?" tanya Ibu dengan nada kurang suka.
"Karena--dia istimewa," jawabku jujur. Ibu semakin tajam menatapku.
"Istimewa karena wajahnya cantik dan putih?" Ibu menegaskan. Aku terdiam, memutuskan mengalah. Tidak ingin berdebat dengan Ibu.
"Ilham, gadis itu telah pergi dari rumahnya. Orang tuanya mengalami kebangkrutan. Ia kecewa lalu memutuskan untuk mengadu nasib ke kota. Begitu desas-desus yang sempat kudengar," tanpa kuminta Ibu menceritakan perihal Drupadi.
Apa yang disampaikan Ibu tentu saja membuatku terhenyak.
Untuk beberapa saat hatiku bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi pada gadis pujaanku itu?
***
Berbekal keterangan minim dari Ibu aku bertekat mencari Drupadi. Menyusulnya ke kota. Meski aku tahu tidak mudah mencari keberadaannya di antara hiruk pikuk manusia urban.
"Kau seperti mencari sebatang jarum di tumpukan jerami," Ibu mengingatkanku. Tapi kerinduanku pada gadis berkulit putih itu membuatku mengabaikan peringatan dan rasa was-was Ibu. Aku tetap pada keputusanku pergi ke kota mencari Drupadi.
Siang itu juga aku bergegas memesan tiket Kereta Api. Kutinggalkan Ibu dan juga rumah yang baru beberapa jam kusinggahi.