Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cerpen | Akhirnya Kami Menikah

Diperbarui: 2 Januari 2018   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : Tag: Wedding Dress | Stylist Magazine/lobster.stylist.co.uk


Malam ini aku dan Danish memutuskan untuk terbang ke langit menggunakan kereta api bersayap milik Louis---seorang ilmuwan kenamaan. Louis adalah teman dekat Danish. Itu sebabnya Louis meminjamkan kereta api terbang miliknya kepada kami dengan senang hati. Ia bahkan membebaskan kami dari uang sewa yang biasa dibebankan.

"Spesial untuk calon pengantin unik seperti kalian," Louis tersenyum, memperlihatkan sederetan giginya yang rapi. Aku dan Danish tentu saja sangat gembira dan berterima kasih.

"Kami pasti akan membawakanmu oleh-oleh, Louis. Sebuah bintang yang cemerlang. Tapi itu  seusai aku menikahi Liliana," Danish berkata bersungguh-sungguh. Mendengar ucapan Danish, ilmuwan itu tertawa renyah. Ia memang begitu,  type  pria periang. Meski nyaris seluruh hidupnya dihabiskan di dalam laboratorium yang dipenuhi oleh benda-benda aneh, sama sekali tidak berpengaruh pada kepribadiannya. Ia tetap Louis yang menyenangkan.

Entah apa yang dilakukan Louis, tahu-tahu kereta api buatannya sudah terbang mengarungi angkasa. Aku dan Danish duduk berdampingan. Gaun pengantinku sesekali tersibak angin yang merasuk melalui lubang ventilasi.

Perjalanan menuju langit memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit 12 detik. Kereta berhenti di hamparan awan putih yang luas, yang pada tepinya berdiri papan  bertuliskan Setasiun  Singgah  Pemilik  Cinta  Sejati.

Danish gegas turun dari kereta. Ia melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil menemukan kembali mainan kesayangannya yang lama hilang. Tuxedo yang dikenakannya kusut masai, tak lagi rapi. Aku sendiri, sedang mengalami  jetlag,  sehingga hanya duduk memandanginya dari balik kaca jendela kereta.

"Kau tidak ingin membimbingku turun, Danish?" aku merajuk. Mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan ujung jemariku. Danish menoleh sejenak. Sepertinya ia senang melihat wajahku yang tampak kesal dengan bibir maju mengerucut.

Mendadak kereta api membunyikan peluitnya keras-keras. Memberi tanda akan segera berangkat meninggalkan setasiun. 

Buru-buru aku bangkit. Lalu berjalan sempoyongan menuju pintu yang terletak di lambung kereta api sebelah kanan.

Tapi langkahku terlambat. Kereta sudah menggerakkan mesin otomatisnya dan melesat cepat---secepat kecepatan cahaya, mengantarku turun kembali menuju bumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline