Ini dongeng pertamaku untuk Ibu. Sudah lama aku ingin melakukannya. Tapi aku selalu kehilangan waktu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sehingga aku lupa, ada seorang Ibu---Ibuku sendiri yang kesepian menunggu kedatanganku.
Di tepi ranjang yang menua aku bersimpuh. Memeluk tubuh Ibu yang ringkih. Tangan keriputnya terkulai lemah ketika perlahan kuangkat dan kugenggam. Oh, Ibu, aku akan mendongeng kisah untukmu. Jadi jangan terlelap dulu.
Sahdan, di sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota hiduplah seorang perempuan bersama putri semata wayangnya yang mulai menanjak remaja. Perempuan itu baru saja kehilangan suami tercinta. Ia masih mengenakan busana berkabung warna hitam. Bibirnya dibiarkan pucat pasi tanpa polesan gincu. Bahkan rambutnya yang panjang legam, yang biasa disisir rapi tergerai kusut masai. Perempuan itu sepertinya menghayati benar arti sebuah kehilangan.
"Ia adalah separuh nyawaku," bisiknya nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar ketika menyentuh benda-benda peninggalan di dalam rumah yang menyisakan banyak kenangan bersama suaminya.
"Semua akan terlupakan seiring berjalannya waktu," anak gadisnya yang berdiri tak jauh darinya menyahut datar.
"Ya. Tapi bagi sang pecinta, waktu tak pernah berjalan meninggalkannya," perempuan itu mendekap sebingkai foto. Foto diri sang suami yang tengah tersenyum lebar.
"Ia telah pergi meninggalkanmu. Selama hidupnya ia juga bukan seorang suami dan ayah yang baik."
"Mencintai itu buta anakku. Kita tak lagi bisa melihat keburukan seseorang."
"Ibu terlalu mendewakan cinta."
"Tidak anakku. Ibu hanya ingin jujur terhadap perasaan Ibu sendiri."
Ibu, itu sepenggal dongengku untukmu. Dongeng paling indah yang ingin kupersembahkan. Dongeng tentang ketulusan cinta seorang perempuan yang penuh maaf. Dongeng yang selama ini tak sempat kuungkapkan. Hanya kusimpan dalam hati. Kini kesempatan itu ada. Jadi bukalah perlahan mata Ibu yang terpejam.