Eurus. Entah siapa yang memberinya nama seperti itu. Mom tidak pernah mengatakannya. Aku juga tidak terlalu tertarik untuk menanyakannya---kecuali setelah aku menyadari bahwa kakak perempuanku itu memiliki perilaku yang agak aneh.
Ia suka menyendiri. Menghindari berinteraksi dengan orang lain. Jarang sekali bicara, kecuali denganku dan Mom.
"Jangan seperti gadis bisu, Eurus," aku sering mengingatkannya. Ya, aku memang harus selalu mengingatkannya. Sebab sering kudengar teman-teman sekolah mengoloknya seperti itu. Si gadis bisu.
"Kau perlu berkomunikasi dengan teman-temanmu, Eurus. Juga dengan guru-guru di sekolahmu," aku menambahkan.
"Kau tahu aku lebih cerdas dari siapa pun, John. Jadi untuk apa aku banyak bicara?" Ia berkata tanpa melihatku. Matanya asyik tertuju pada benda di tangannya. Benda tajam berkilau.
"Eurus! Apa yang kau lakukan?" sigap aku merampas pisau dari tangannya. Huft, hampir saja aku terlambat. Pisau tajam berkilat itu sempat menggores pergelangan tangan kirinya sedikit.
"Kau seharusnya membiarkanku, John. Tidak mencegahku."
"Pisau itu bisa melukaimu, Eurus! Urat nadimu bisa putus dan kau---bisa mati."
"Mati? Oh, John, aku hanya ingin tahu, ada apa di dalam rangkaian nadiku ini," ia menunjukkan pergelangan tangan kirinya yang memerah dengan mimik tenang dan sorot mata tanpa ekspresi.
Melihatnya seperti itu aku bergidik. Ia terlihat begitu dingin dan menakutkan. Aku semakin yakin, kakakku itu mengidap sesuatu---yang membutuhkan penanganan khusus.
Aku lantas membicarakan perihal Eurus dengan Mom. Kukira Mom sudah mengetahuinya. Tapi Mom memberi tanggapan yang agak mengecawakanku.