Lihat ke Halaman Asli

Lilik Fatimah Azzahra

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Cerpen | Surat Tapol yang Tak Pernah Sampai

Diperbarui: 23 September 2017   13:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : The Radical Power of a Prison Pen Pal / www.talkingpointsmemo.com

Daniel berulang kali menyentuh lipatan kertas yang ia sembunyikan di balik sabuk gespernya, meyakinkan bahwa benda berisi oret-oretan cakar ayam itu masih ada.

Beberapa jam lalu saat apelpagi,seorang sipir sempat memeriksa dan meraba-raba pinggangnya. Ketika tangan sipir itu sampai pada sesuatu yang menggunduk di balik sabuk gespernya, Daniel buru-buru berkilah,"kertas kobot, untuk tingwe."

Entah karena lelah atau bosan setiap hari wajib menggerayangi tubuh-tubuh kurus para tahanan, sipir itu tak bereaksi. Ia berlalu meninggalkan Daniel dan melanjutkan pemeriksaan selanjutnya. Ada dua tiga tahanan yang berdiri berjejer, menunggu giliran.

Saat paling baik bagi Daniel untuk membaca ulang tulisannya yang belum rampung adalah di jam-jam seperti ini, di mana para tahanan dibebaskan untuk berjemur matahari. Daniel meraih pensil yang terselip di atas cuping telinganya. Usai menengok kanan kiri dan dirasa kondisi memungkinkan, ia merogoh sabuk gespernya lagi, meraih lintingan kertas, membukanya hati-hati lalu membacanya pelan-pelan. Kadang ia harus berhenti sejenak untuk menambahkan beberapa kalimat yang dirasanya perlu.

Kepada: Kastamoen, teman seperjuanganku

Moen, piye kabarmu di sana? Apakah suasana di luar aman terkendali?

Moen, kondisiku di sini baik-baik saja. Malah boleh dibilang---aku, mungkin adalah satu- satunya Tapol yang masih bertahan dengan kondisi prima di pulau pengasingan ini. Sebab beberapa teman banyak yang meninggal, tewas secara mengenaskan, kejang-kejang mengeluarkan darah dari lubang hidung dan kupingnya. Bukan karena popor senapan, Moen, seperti yang sering kita bayangkan, melainkan karena gigitan nyamuk ganas. Malaria.

Moen, kalau tidak keliru ini sudah tahun ke-50 sejak aku diciduk dan dituduh sebagai pengikut partai terlarang itu. Padahal apa sih yang kita lakukan saat itu? Kita hanya main Ludruk, memainkan seni peran hiburan wong cilik dari panggung ke panggung.

Kau pasti masih bisa mengingatnya, kan, Moen? Malam di mana kita sedang melakonkan sebuah cerita tentang kisruh negara pasca peristiwa 1965 itu. Ujug-ujug pas aku lagi ngidung parikan, beberapa petugas menggerebek panggung dan menangkap hampir semua laki-laki yang tergabung dalam seni ludruk binaanku. Dirimu bisa lolos karena saat itu kebetulan didaphuk dadi wong  wadhon, menjadi seorang perempuan. Mungkin itu sudah takdirmu, ya, Moen. Gerak tubuhmu yang luwes dan kemayu saat memerankan tokoh perempuan, berhasil menyelamatkanmu dari penggerebekan gebyah uyah.

Moen, seperti cita-cita semua pelakon seni dari awal. Kita melakukan apa yang kita bisa sesuai dengan kemampuan. Kita ini hanya masyarakat pinggiran, pecinta seni, sekaligus pencari keadilan. Meski pada kenyataannya mulut kita dibungkam dan tubuh kita sengaja dibuang di pulau pengasingan tanpa bukti konkrit, dan diharap mati pelan-pelan, toh, perjuangan belum dan tidak akan pernah berakhir. Akan ada anak cucu kita yang melanjutkan, bukan?

Moen, apakah kau masih menyimpan buku-buku tentang misi pemberontakan itu baik-baik? Buku-buku yang secara berkala dikirim oleh seseorang, yang---tanpa kusebutkan namanya, kau pasti sudah tahu. Nanti, Moen, kalau aku sudah dinyatakan bebas, hal pertama yang akan kulakukan adalah bertemu denganmu. Mempelajari ulang buku-buku berharga itu untuk kemudian berdiskusi denganmu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline