Ia menemukanku saat mengais-ngais gundukan sampah di TPA yang terletak tidak jauh dari rumah tinggalnya. Ia berseru gembira. Tangannya yang mungil memelukku erat meski kondisiku sangat kotor dan bau. Ia berputar-putar, menari-nari seraya tak henti menimangku.
Langkahnya riang membawaku pulang. Ia bahkan tak segan menidurkanku di atas bantalnya. Menjadikanku teman tidurnya. Ingin sekali aku mengatakan padanya agar terlebih dulu membersihkanku agar saat ia memelukku, tubuhnya tidak merasa gatal. Tapi bibirku terkunci.
Dalam remang lampu ublik ia teliti mengamatiku. Ia agak terkejut manakala mengetahui mata sebelah kiriku tak ada. Hilang. Lama ia terdiam, mungkin sedang berpikir, sebab tak lama kemudian kakinya melangkah menuju mesin jahit lawas milik Ibunya yang berada di pojok ruangan. Jemarinya merogoh laci, sibuk mencari-cari sesuatu. Ia tersenyum gembira saat menemukan benda berbentuk bulat berwarna hitam sebesar biji jagung.
Sebuah kancing baju.
Hati-hati ia menempelkan kancing baju itu tepat pada cekung mata kiriku yang cumplung, menggunakan lem dari lelehan lilin yang dibakarnya.
Kini mataku sudah utuh kembali meski---terlihat agak aneh.
"Masih belum tidur Anna?" sebuah suara mengagetkannya. Buru-buru ia menyembunyikanku di bawah bantal.
"Sebentar lagi, Bu," ia menjawab gugup. Lalu sepi, tidak terdengar suara apa-apa lagi. Ia kembali meraihku, memelukku erat hingga lelap tertidur.
***
Pagi-pagi buta ia sudah bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah bicara denganku.
"Aku sering memimpikan memiliki boneka seperti milik anak juragan Ayah. Boneka itu bagus sekali, ia bisa menangis, tertawa, dan juga...kedua matanya bisa berkedip-kedip."