Di setiap sajak yang kukirim padamu, terselip rekah bibirku, kecuplah. Dalam bait syair yang kugubah, kurentang rindu, peluklah. Cinta ini hanya ingin ‘menjadi’, bukan ‘memiliki’, jadi biarkan ia menjelma apa saja yang ia suka.
Aku tidak menuntut pengembalian cinta yang telah kuberi---padamu. Apalagi sampai harus mengurung ia di dalam bilik keegoan niscaya.Tidak, aku tidak seperti itu. Aku hanya ingin memberi, sudah, itu saja.Tak lebih.
Jikalau cinta pada akhirnya menjadi amat mulia, itu karena kita telah memperlakukan ia---pada tempat yang semestinya.
Entahlah, sudah berapa banyak Mayza menulis kata-kata seperti itu. Kata-kata yang ditujukan buat kekasihnya, Gabril.Ia tampak begitu sumringah saat jemarinya mengetik satu demi satu huruf-huruf yang tertera pada keyboard laptop miliknya. Huruf-huruf itu lincah berloncatan, menari-nari, mendendangkan lagu cinta nan amboi.
Mayza tidak peduli. Meski sosok Gabril sama sekali tidak dikenalnya, tidak pernah ditemuinya, ataupun berkirim foto jati dirinya. Mayza sama sekali tidak peduli.
“Jangan bertindak bodoh, May,” Diana, sepupunya mengingatkan. “Kukira, Gabril itu hanya imajinasimu.”
“Tidak Di, dia itu ada.” Mayza tersenyum. Bukan sekali ini ia mendengar Diana berkata seperti itu. Tak terhitung jari. Tapi Mayza tetap melakukan hal yang sama, mempertahankan kepercayaan tentang sosok Gabril, bahwa laki-laki itu ada, nyata, sembari menunjukkan berlembar-lembar kertas yang tersimpan rapi dalam laci meja kerjanya.
“Kami bertukar kata-kata, Di. Dan itu lebih dari cukup.” Mayza mengumbar senyum lagi.
Meski senyum itu bagi Diana, sungguh sangat memprihatinkan.
***
Nun jauh di sana. Di belahan bumi yang lain. Sosok Gabril itu ternyata memang ada. Ia nyata.