Perempuan itu menatap kalender yang terpampang di dinding. Ini hari Selasa, penanggalan menunjukkan angka dua puluh delapan. Angka yang menandai berakhirnya bulan Februari di tahun kabisat.
Besok sudah memasuki awal bulan Maret.
Tiba-tiba saja dada perempuan itu berdegup. Wajahnya yang tirus bersemu dadu. Ah, ada apa gerangan di bulan Maret? Ia menyungging senyuman, berusaha menutupi perasaannya yang membuncah.
Ia tengah bahagia. Perempuan itu tengah dilanda bahagia.
Huft, ia mendesah. Akhirnya sampai juga ia di penghujung penantian panjang. Penantian yang menguras cukup banyak pikiran. Betapa tidak, selama berbulan-bulan ia mesti melewati hari dengan perasaan rindu dan harap-harap cemas tak menentu.
Dibukanya jendela kamar lebar-lebar. Dibiarkannya sinar mentari yang hangat menyentuh lembut kedua pipinya.
Perlahan ia memejamkan mata.
Kicau kenari membuatnya membuka mata lagi. Gegas ia melangkah meninggalkan kamar menuju halaman. Ditemuinya sebatang tananam cabe yang tumbuh subur di dekat pagar. Diamatinya tanaman itu dalam-dalam. Kembali ia tersenyum. Senyum cantik yang jarang sekali ia perlihatkan.
Tanaman cabe itu tengah berbuah. Lumayan lebat. Sebagian buahnya ada yang mulai ranum.
Perempuan itu meraih sapu lidi yang tersandar pada dinding pagar. Ia ingin membersihkan daun-daun kering yang jatuh berserak mengotori halaman. Sreg...sreg...sreg...bunyi ujung sapu bergesek dengan tanah. Setumpuk sampah berhasil ia kumpulkan. Lalu dengan sekali angkut tumpukan sampah itu berpindah masuk ke dalam bak pembuangan.
Peluh membasahi keningnya yang licin. Wajahnya memerah. Jelita. Seperti wulan ndadari, begitu kata kekasihnya. Bagaikan fase bulan purnama. Sungguh, suatu pujian yang teramat memabukkan.