Tembang Megatruh mengalun pilu mengiringi ruh Dewi Sumbadra melayang ke alam keabadian. Para Nayaga berurai air mata. Ki dalang meraih tubuh Antareja dari simpingan sebelah kanan. Lalu mengibaskannya di depan layar, melangkahkan tubuh perkasa itu di atas jasad Dewi Sumbadra. Seketika wayang cantik yang beberapa waktu lalu tertusuk keris Burisrawa itu pun terbangun.
Tepuk tangan dan sorak sorai membahana memenuhi gedung pertunjukan. Penonton bersuka cita. Sang dalang, Ki Songgo Langit, yang nama aslinya Slamet Riyadi, mengulum secercah senyum.
Usai sudah pagelaran seni wayang kulit malam itu.
Wayang-wayang yang semula berjejer rapi di atas sebatang pohon pisang, telah berpindah tempat.
"Pri, jangan ada yang ketinggalan ya!" Ki dalang mengingatkan. Lelaki bernama Priyono itu mengangguk. Dengan cekatan dan hati-hati ia menaikkan peti berisi properti pewayangan ke atas truk sewaan.
Pagi telah datang. Kantuk pun menyergap. Setelah semalam suntuk ikut menikmati lakon Sumbadra Larung, beberapa kali Priyono menguap. Ia menatap batang pohon pisang yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Tugasnya tinggal itu. Menyingkirkan batang berbentuk gelondong itu ke dalam bak sampah setelah terlebih dulu ia harus memotong-motongnya menjadi beberapa serpihan kecil.
Baru saja usai menutup bak sampah, seseorang menyentuh pundaknya dari belakang.
"Kang Mas Priyo..." suara merdu, mendayu, membuatnya menoleh. Lelaki itu terkesima.
"Kau?"
Di belakangnya telah berdiri sesosok perempuan. Mengenakan kain panjang, berkemben, memakai sumping pada kedua telinganya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai.
"Banowati," perempuan itu tersenyum ke arahnya. Tangannya yang halus terulur.