Tok...tok...tok....Suara kentongan bambu dipukul bertalu-talu. Pada setiap Minggu pagi sekitar pukul tujuh. Beberapa orang pemuda dan bapak-bapak berkeliling kampung sembari membawa karung dan ember. Mereka mendatangi setiap rumah warga dengan hati riang gembira.
"Jimpitan! Jimpitannya Bu...." begitu kata-kata itu diulang. Saya yang sedianya ingin mbangkrong karena hari libur, buru-buru mengambil jimpitan beras yang sudah saya siapkan. Begitu rombongan tiba di depan rumah, dengan hati riang gembira pula saya menyerahkan tabungan akherat saya.
Masih ingat dekade puluhan tahun silam tentang program jimpitan beras ini, bukan? Yup, di mana kala itu ibu-ibu rumah tangga wajib meletakkan sejimpit beras setiap kali hendak memasak ke dalam kaleng kecil yang sudah disiapkan. Kaleng kecil itu digantungkan di depan rumah. Lalu satu minggu sekali petugas Pokja ( Kelompok Kerja ) dari RT, RW atau kader PKK datang mengumpulkan hasil jimpitan itu. Kemudian hasil jimpitan akan dikumpulkan dan dijual. Hadil penjualan akan dimanfaatkan untuk kegiatan sosial seperti bantuan korban bencana alam, anak-anak terlantar atau pembangunan sarana tempat peribadatan.
Entah mengapa, memberikan jimpitan berupa beras yang tidak seberapa jumlahnya, ternyata mampu memberikan efek kebahagiaan tersendiri. Ada perasaan haru bisa membantu secara rutin meski hanya sedikit. Bukankah yang sedikit lama-lama bisa menjadi bukit?
Pembangunan Masjid dan Surau dari hasil jimpitan
Di kampung saya pembangunan Masjid dan Surau sebagian besar menggunakan dana swadaya masyarakat. Dana tersebut diperoleh dari berbagai macam sumber. Di antaranya ya pengadaan jimpitan beras ini. Meski tidak seratus persen pembangunannya diperoleh dari hasil jimpitan, tapi paling tidak tradisi pengumpulan jimpitan beras dari ibu-ibu rumah tangga ikut andil di dalamnya. Alhamdulillah, panitia pengelolanya bekerja sangat profesional sehingga pembangunan sarana ibadah di kampung saya bisa terwujud dengan baik.
Melestarikan tradisi yang sarat pembelajaran
Tradisi mengumpulkan jimpitan sudah dijalankan sejak zaman nenek moyang terdahulu. Jika kita menelaah lebih jauh, tradisi ini memberikan banyak pembelajaran yang sangat berharga. Dari kegiatan jimpitan kita belajar menyisihkan sebagian rezeki, belajar tentang kepedulian sekaligus melestarikan semangat kegotongroyongan yang belakangan ini mulai tergerus era modernisasi.
****
Malang, 11 Januari 2016