Namaku Amaryllis. Bukan, aku bukan bunga. Aku seorang gadis. Cantik? Tentu saja, secantik bunga Amaryllis yang tumbuh mekar di awal musim penghujan.
Aku juga sangat menyukai hujan. Hujan bagiku adalah pundi-pundi emas. Aku bisa mengumpulkan uang banyak saat musim hujan tiba. Dalam hujan aku mengais rezeki. Penghasilanku sehari bisa mencapai puluhan ribu rupiah. Itu jika hujan turun dari pagi hingga petang tanpa berhenti.
Seperti hari ini. Hujan meluruh sejak subuh. Aku bersorak gembira. Semoga matahari tetap bersembunyi di balik peraduannya dan enggan menampakkan diri.
Aku bersiap-siap berangkat menyongsong rezeki. Kupakai mantel hujan yang sudah lusuh sisa tahun kemarin. Tak lupa kukenakan sandal jepit yang sudah menipis dan karetnya mulai mengendur.
"Jangan pulang terlalu sore. Kudengar kamu terbatuk-batuk semalaman," tegur ibu ketika melihatku siap berangkat.
"Semakin sore, semakin ramai pelanggan, Bu. Penghasilanku jadi bertambah. Lumayan bisa menabung untuk membelikan ibu jilbab baru. Kan Ibu kemarin bilang, ingin punya jilbab syar'i yang panjang," aku menyahut sembari meraih tangan ibu dan menciumnya.
"Hati-hati di jalan," pesan ibu sesaat sebelum aku menghilang di balik deras hujan.
***
Aku berdiri di emperan toko tempat biasa aku mangkal. Seorang ibu membawa banyak belanjaan dan melambaikan tangan ke arahku. Bergegas aku menghampirinya.
Kuantar ibu itu sampai di parkiran mobil. Selembar uang lima ribuan kuterima sebagai upah atas jasaku menaunginya dengan payung hitamku.
Aku balik ke emperan toko lagi. Sepasang muda-mudi melambaikan tangannya ke arahku.