KARAT KENANGAN
Oleh : Endang Lestari (El Farzana A.)
.
Hujan masih tak mau reda dari hatiku. Membiarkan luka itu tak bisa mengering.
***
"Fia ... gimana? Kamu mau, 'kan, menikah denganku?" Lelaki berbeda dengan pertanyaan yang sama menatapku. Sorot matanya menggambarkan sebuah harapan yang tinggi.
"Maaf, aku belum siap menikah. Masih banyak tanggungan yang harus kupenuhi," jawabku, tanpa ingin memikirkan lebih jauh permintaannya. Dia adalah lelaki kedua yang kutolak lamarannya.
Hanya kata-kata itu yang bisa terucap. Mungkin terdengar kejam, tapi hati dan jiwa memang belum siap untuk berumah tangga. Meski umur pun bisa dibilang sudah waktunya.
Setelah menuntaskan janji bertemu lelaki itu, aku bergegas pulang. Melajukan kuda besi, menyusuri jalanan kota yang malam ini lumayan lengang. Mungkin penghuninya sebagian sudah berada di rumah, karena waktu pulang kerja sudah lewat beberapa jam yang lalu.
Mendung menutupi sinar bulan beserta gemintang. Sesaat, hujan gerimis menyapa. Aku menikmati gerimis sambil memelankan laju kendaraan. Sekilas kenangan masa lalu terlintas di kepala.
Plak!
"Pak, cukup, Pak!" jerit tangis Ibu dari kamarnya terdengar memenuhi isi rumah.