Lihat ke Halaman Asli

Sambut Ramadhan dengan Cita Rasa Lokal Religius

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pedang siap dihunuskan dalam hitungan detik.Siap melahap kepala dua tua yang mengaku beriman pada Muhammad. Suami istri itu Ammar dan Sumayah. Bagi keduanya, Muhammad adalah benar utusan Allah Swt. Bagi mereka, adalah benar bahwa Muhammad adalah Rasul yang siap membawa risalah umat sekalian zaman. Adalah benar Muhammad mampu mengangkat derajat masyarakat Arab pada zaman itu dari masa-masa kebodohan.

Oleh karena itu, Ammar dan Sumayah bersikukuh meninggalkan Latta dan Uzza. Mereka ingkar pada tuhannya sendiri. Tuhan pemimpin mereka yang telah mengangkat mereka dari jerat kemiskinan. Betapa bodohnya! Namun, anak mereka, Yasir, tidak memiliki pendirian sekuat orangtuanya. Ammar terlalu takut kehilangan nyawa hanya demi membela Muhammad dan kembali beriman pada Latta dan Uzza. Akhirnya Ammar dapat selamat dari hunusan pedang utusan Bani Makhzum. Akan tetapi, ia harus rela menyaksikan nyawa kedua orangtuanya direnggut paksa oleh para utusan Bani Makhzum di depan matanya sendiri.

Demikian salah satu adegan dari drama Sunda “Muhammad Jungjungan Ati” karya Abdullah Mustappa yang diperankan mahasiswa Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Skenario ditulis Usman Supendi dan disutradarai Resa Restu Pauji. “Muhammad Jungjungan Ati” merupakan sempalan cerita para sahabat Nabi yang begitu kuat memegang teguh keimanannya pada Sang Rasul. Drama tersebut juga menampilkan penggalan cerita Abu Dzar yang bersikukuh ingin menemui Rasul demi menegaskan keimanannya dan juga cerita Bilal, budak Umayyah, yang didera banyak siksaan demi kecintaannya pada Muhammad, Sang Rasul.

Drama tersebut merupakan salah satu dari dua pementasan yang diadakan UNO Organizer. Event Organizer bentukan mahasiswa Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menyelenggarakan acara bertajuk “Mapag Dulag Ramadhan 1431 H” pada 1 Agustus 2010 di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung. Sesuai namanya, acara ini diadakan untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang jatuh pada minggu kedua Agustus. Selain drama Sunda, pementasan yang dipertunjukkan adalah musikalisasi puisi sufistik Sunda “Tutungkusan Panghulu Bandung” karya Haji Hasan Mustofa. Ridwan Ch. Madris didapuk sebagai sutradara sedangkan skenario tetap ditulis Usman Supendi.

Perpaduan nilai sufitik dan sentuhan artistik membuat penonton terbuai dalam bait-bait sajak yang dibaca begitu menyentuh dan menggetarkan. Hal ini semakin menegaskan makna puisi-puisi tersebut bahwa tujuan hidup manusia hanyalah Allah Swt. Sedangkan dunia hanyalah perjalanan menuju tujuan tersebut. Tak hanya terbawa emosi yang mendalam, penonton pun disuguhi alunan tembang Asmarandana dan lenggak-lenggok penari dalam beberapa tembang religi Sunda yang dinyanyikan secara apik dan menghibur.

Selain kedua pementasan tersebut, dua buah tarian menjadi special performance yang semakin meriuhkan suasana Gedung Rumentang Siang. Tari Kipas menjadi opening art sedangkan tari mojang Priangan dipertunjukan sebelum menunggu pementasan kedua dimulai. Hal ini membuat, sebuah acara penyambutan Ramadhan menjadi menarik, menghibur, dan kental akan nuansa lokal Sunda.

Nuansa Sunda diangkat bukan tanpa tujuan. Pertama, tujuannya adalah untuk melestarikan kebudayaan Sunda dan menghormati kearifan lokal lingkungan setempat. Mengingat seluruh pemain yang masih menyelesaikan kuliah ini datang dari latar belakang budaya berbeda. Misalnya, Renold, salah seorang pemain yang berasal dari Sumatera Selatan. Artinya, meski bukan urang Sunda, ia berkewajiban melestarikan budaya Tanah Pasundan yang ia tinggali kini.

Kedua, tujuannya adalah melestarikan Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu masyarakat Jawa Barat, khususnya Bandung. Hal ini didasari kekhawatiran akan melemahnya penggunaan Bahasa Sunda dalam arena pergaulan masyarakatnya sendiri. Tentu, hal tersebut dicurigai sebagai akibat modernisasi dan westernisasi yang terus menggerus masyarakat, khususnya anak muda. Oleh karena itu, semakin anak muda Bandung sadar akan pelestarian Bahasa Sunda, maka bahasa ibu masyarakat Jawa Barat ini tidak akan pernah punah dari muka bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline