Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMA, SMK, dan MA telah selesai dilaksanakan. Seperti halnya berita kemacetan dan habisnya tiket kendaraan umum pasca-Idul Fitri, sudah dapat ditebak berita apa yang akan muncul setelah UN. Ya, apalagi kalau bukan kebocoran soal UN. Seperti dilansir Okezone.Com (15/1), ada 11 kasus kebocoran soal UN di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Selain itu, SoloBlitz (16/4) mengabarkan bahwa terjadi pembelian paket soal dan kunci jawaban seharga Rp7 juta di Karanganyar dan sekitarnya. Kunci jawaban tersebut konon diperoleh dari salah seorang kepala sekolah SMA swasta di Boyolali.
Dua kabar tersebut hanya sebagian dari berita mengenai kekacaun UN tahun ini. Hal tersebut tentu tidak mengagetkan. Dari tahun ke tahun, hal serupa akan terus terjadi. Belum lagi, "kabar" yang didapat langsung dari lingkungan sekitar. Tahun ini, saya belum mendapatkan kabar buruk tentang UN "langsung" dari orang-orang sekitar berhubung tidak ada teman atau keluarga yang kebetulan tengah melaksanakan UN. Lain halnya dengan tahun kemarin (2013), saat seorang sepupu melaksanakan UN SMP dan ada pula saudara yang masih berprofesi pengajar di SMK swasta. Dari sepupu, saya bisa melihat langsung bagaimana dia dan kawan-kawannya malah sibuk menyiapkan "strategi" ketimbang menghapal bahan pelajaran UN. Katanya, sang guru di sekolah telah menyiapkan strategi khusus agar setiap murid kebagian jatah jawaban untuk setiap soal yang mereka kerjakan. Lain halnya dengan saudara saya yang juga guru honorer sebuah SMK swasta. Di sekolahnya, para guru sibuk menyiapkan persiapan UN, termasuk menyiapkan "strategi" agar semua murid di sekolahnya dapat lulus 100%, di antaranya menyediakan jawaban dengan cara beberapa guru ditunjuk untuk ikut membantu mengerjakan soal pada saat pelaksanaan UN.
Kejadian seperti itu mengingatkan saya pada 8 tahun silam, saat saya juga mengalami langsung UN SMA. Saat itu, saya ingat betul bagaimana pihak sekolah mengajari saya dan teman-teman "manajemen strategi", yang di dalamnya termasuk bagaimana seorang murid pintar dikondisikan untuk dapat menyebarkan jawaban UN ke semua teman-temannya. Sial-sialnya, alih-alih bangga disebut cukup pintar, saya merasa sial karena saya yang ditugaskan sebagai "juru selamat" tersebut. Meski pada akhirnya, sebuah penghargaan diberikan pihak sekolah atas usaha tersebut. Miris, mengingat saya dulu bersekolah di sekolah negeri yang cukup difavoritkan.
Itulah gambaran kekacauan UN yang dari tahun ke tahun sudah membudaya di Indonesia. Kenapa saya menyebut "kekacauan"? Karena rasanya banyak pihak lupa dan malah berkonsentrasi mengawasi kebocoran soal UN. Padahal masalah UN bukan cuma di kebocoran soal saja, melainkan proses UN itu sendiri. Lihat saja bagaimana Ketua Komisi X DPR yang menjamin tidak ada kebocoran UN (Antara, 14/4), Menteri Agama pun menjamin hal yang sama di Madrasah (Republika Online, 17/4), dan beberapa kepala daerah yang menyatakan bahwa di daerahnya akan terbebas dari kebocoran UN. Salah satu alasannya adalah karena soal UN dibuat sangat bervariasi. Namun, sebesar apapun target untuk membebaskan UN dari kebocoran soal, saya pikir itu bukan prestasi yang membanggakan. Karena masalah utama besar UN adalah dampak buruknya yang telah mengubah mental dan moral insan pendidikan di negara ini--yang meliputi tenaga pendidik, peserta didik, dan pembuat kebijakan--kian merosot.
Karakter Picik
Salah satu kemerosotan itu adalah dengan terbentuknya karakter picik. Karakter picik terus mengakar di kalangan peserta didik untuk menghasilkan nilai UN yang memuaskan sehingga menghalalkan segala cara. Lebih dahsyatnya lagi, para tenaga pendidik (guru, kepala sekolah, dan pembuat kebijakan di sekolah) juga lebih picik. Alih-alih meningkatkan kualitas pengajaran dan fasilitas sekolah yang menunjang terciptanya output berupa siswa berkualitas, mereka mengambil jalan pintas agar hasil UN di sekolahnya memuaskan. Hal itu tidak terlepas dari "gengsi" pihak sekolah atau kekhawatiran tidak mendapatkan peminat di tahun ajaran berikutnya jika nama baiknya tidak dijaga.
Namun, terbentuknya karakter picik pada peserta didik dan tenaga pendidik tersebut tentu merupakan tanggung jawab pembuat kebijakan di negeri ini. Inilah yang saya nilai sebagai dampak buruk UN. Selama UN tetap diselenggarakan, maka saya yakin karakter picik tersebut akan terus tertanam. Memang jangan dinafikan bahwa masih banyak sekolah, tenaga pendidik, dan peserta didik yang patut dijadikan contoh dalam melaksanakan UN yang baik dan jujur. Namun, berbicara mengenai kekacauan UN bukan lagi sekadar "nila setitik, rusak susu sebelanga". "Nila" dalam dunia pendidikan akibat UN ini membuat wajah pendidikan Indonesia semakin rusak dan perlu segera diperbaiki.
Saatnya UN Dihapus
Namun demikian, mengikis wajah buruk dunia pendidikan di negeri ini adalah sebuah keniscayaan. Saya yakin, pembuat kebijakan dalam dunia pendidikan, diwakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahu dan mengerti akan kekacauan yang terjadi di negeri ini setiap menjelang tahun ajaran baru setiap tahunnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan yang lebih layak untuk tetap menjadikan UN sebagai standar kelulusan secara nasional di Indonesia. Saya yakin, orang-orang pintar di negeri ini teramat banyak sehingga mampu mengatasi riak-riak yang mencoreng dunia pendidikan ini. Mereka mampu menyediakan formula yang jitu untuk melahirkan sistem yang dapat menghasilkan kualitas pendidikan indonesia semakin diperhitungkan di tingkat internasional, dimulai dari menghasilkan para lulusan sekolah yang tidak berkarakter picik.
Saatnya menghapus UN. Saatnya digunakan sistem yang lebih berkeadilan dalam menentukan standar kelulusan, mengingat Indonesia begitu luas dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Biarkan setiap sekolah menentukan standardisasi kelulusan bagi siswa-siswinya dengan para guru sebagai garda terdepan yang mencetak lulusan-lulusan terbaik. Biarkan setiap guru diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kualitas pendidikan mereka dengan diimbangi peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, pendidikan benar-benar bisa berfungsi sebagai sarana menciptakan generasi yang berkarakter cerdas, tangguh, dan berjiwa kompetitor.