Inti dari kesejahteraan adalah terpenuhinya hajat hidup manusia, baik individual maupun sosial (komunal). Keterpenuhan itu masih abstrak, ukurannya masih belum jelas dan secara nominal masih debatable, terlebih ketika kesejahteraan dilihat dari sisi spiritual. Secara umum, baik itu kelompok materialis, hedonis, sosialis, maupun kapitalis berujung hanya pada kepemilikan materi sebagai indikator kesejahteraan, meskipun hakekat materi dan kepemilikannya secara teori difahami beragam.
Dalam perspektif materialisme dan hedonisme yang “dianut” oleh ilmu ekonomi konvensional, keberlimpahan materi adalah indikator kesejahteraan. Namun berbeda halnya dengan pandangan kapitalime demokratik, kebebasan individu adalah puncak untuk mewujudkan kesejahteraan. Kebebasan ini mencakup kebebasan politik, kebebasan berfikir, kebebasan ekonomi, dan kebebasan individu. Bagi kelompok ini, kesejahteraan masyarakat akan tercapai jika kebebasan dan kesejahteraan individu terjamin. Akan tetapi, dalam prakteknya kecenderungan terhadap materi jauh lebih dominan dari pada kecenderungan kepada aspek lain. Dalam pandangan sosialisme, kesejahteraan adalah kondisi yang membahagiakan masyarakat secara kolektif. Pada mazhab ini titik tekannya adalah kolektifitas bukan pada individu seperti dalam pandangan kapitalisme, oleh karena itu porsi penguasaan terhadap materi lebih banyak dimilki secara kolektif, sementara kepemilikan individu cenderung terabaikan.
Hakekat kesejahteraan dalam Islam berbeda dengan faham sebelumnya. Islam mengajarkan bahwa hidup yang sesungguhnya adalah kehidupan di akhirat. Kehidupan dunia hanya sementara, ia adalah proses menuju hidup yang sesungguhnya yang lebih baik dan kekal (Q.S. 93/al-dhuha: 4 dan Q.S. 87/al-a’la: 17). Dengan demikian, kesejahteraan yang diajarkan Islam tidak hanya kesejahteraan materi di dunia tetapi juga kesejahteraan, kemuliaan dan kebahagian di akhirat (falah). Islam menyeimbangkan kesejahteraan material dan spiritual, dunia dan akhirat. Dalam ajaran Islam materi hanyalah salah satu sarana menuju kesejahteraan dan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
Falah atau kebahagiaan dan kemuliaan dunia dan akhirat ini bukan tidak mungkin dicapai oleh umat manusia, karena hukum Islam memiliki beberapa ciri khas dan karakteristik tersendiri. Kekhasan terletak itu terletak dalam mabâdî (prinsip-prinsip), usus(dasar-dasar), mazâya (kelebihan), mahâsin (keistimewaan) dan thawâbi’(watak dan tabiat). Terkait dengan penulisan artikel ini, maka yang diuraikan di sini hanya seputar mabâdî dalam ranah ekonomi syariah (mabâdî al-syari’âh fi al mu’âmalah). Menurut pandangan kami ada tiga macam prinsip yang paling mendasar terkait ekonomi syariah, yaitu: 1) al-tauhîd,2) al-‘adalahdan 3) al-amr bi al-ma’rûf wa nahy ‘an al-munkar.
- Al-tauhîd
Core dari ajaran Islam ialah al -tauhîd dan inti dari al-tauhîd ialah lâ ilâha illâ Allâh al- wahîddan atau mâ min ilâhin illâ ilâhun wâhid. Dia adalah satu-satunya pembuat hukum (lâ hâkim illâ Allâh), jadi tidak ada hâkim selain Dia dan tidak ada hukum kecuali hukum yang dibuat oleh-Nya (lâ hukm illâAllâh). Hukum yang diciptakan oleh Allah SWT itu mutlak benarnya dan tidak ada keraguan di dalmnya, lâ raiba fîh. Prinsip al-tauhîd dalam ranah ekonomi syariah bila dihubungkan dengan tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarî’ah) akan bertemu pada dua titik, yaitu dalam pemeliharaan harta (hifdzal-mâl) dan pemeliharaan keturunan (hifdz al-nasl). Dampak dari keterpautan antara al-tauhîddan maqâshid al-syarî’ah dalam ranah ekonomi adalah tumbuh berkembangnya harta kekayaan serta suasana keluarga dan keturunan yang sakinah, mawaddahdanrahmah. Kondisi ini akan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia serta meraih puncak tujuan kehidupan, yaitu kebahgiaan dunia dan akhirat (al-falâh).
- Al-‘adalah
Keadilan merupakan dasar kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam dimensi ekonomi syariah, ia adalah pilar tempat berpijaknya asas pertukaran manfaat (tabâdul al-manfa’ah), asas kerjasama (musyârakah), asas kerelaan (‘an tarâdhin), asas persamaan (musâwah), dan asas kebaikan dan ketaqwaan (al-birr wa al-taqwâ). Ketika prinsip keadilan dan asas-asas ini secara bersama-sama diterapgunakan dalam kehidupan ekonomi, maka kegiatan usaha yang mengandung unsur monopoli, oligopoli, monopsoni, dan penimbunan harta (al- ikhtikâr) akan terkikis. Ekonomi kini tidakhanya berputar di kalangan orang kaya (al- aghniya) yang punya modal danfulus, tetapi menyebar ke semua lapisan masyarakat tanpa sekat agama, suku, dan warna kulit. Kondisi ini akan melahirkan kehidupan yang makmur dan sejahtera dan pada gilirannya akan sampai kepada the main goal of life, that’s al-falâh.
- Al-Amr bi al-Ma’rûf dan al-Nahy ‘an al-Munkar
Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat keji banyak disebut dalam al-Qur’an seperti dalam Surat Ali Imran ayat 3. Inti dakwah adalah mengajak berbuat al-khairdengan mekanisme menyuruh al-ma’rūfdan melarang berbuat al-munkar berasaskan al-hikmatdanal-mau’idhat al-hasanat, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil dibarengai dengan perlakukan al-hasanatapabila mereka menentang.
Dengan diterapkannya prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan kesejahteraan akan tercapai dan keadaan ekonomi bangsa ini akan semakin baik lagi menuju bangsa yang adil, makmur dan sejahtera.
Elif Pardiansyah
Penulis adalah Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP dan sebagai Mahasiswa Magister Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam - Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H