Atmosfer pesta demokrasi makin mendekati hari H tensinya semakin panas, mulai 6 April 2014 adalah masa tenang, dimana semua parpol maupun caleg dilarang untuk mengumpulkan massa. Aturan ini harus dipatuhi oleh semua parpol dan caleg peserta pemilu, tanpa terkecuali. Namun, kenyataan dilapanganmasa tenang adalah masa tim pemenang mulai bergerak mengambil strategi dan jurus pamungkasnya sebagai bagian puncak usaha mereka mengantarkan calegnya melanggeng menuju senayan.
Salah satu strategi pamungkas tersebut adalah meminjam istilah money politik dengan membagikan amplop berisi uang yang nominalnya bervariasi. Entah mengapa, para kandidat calon Anggota legislatif masih mempercayai uang bisa membeli suara masyarakat. Masyakarat sendiri mungkin sejak dulu setiap 5 tahunnya dimanja dengan kebiasaan menerima uang suap atau sogokan untuk memberikan suaranya,saat ini pun banyak masyarakat menanti para tim pemenang caleg membagi-bagikan amplopnya. Bahkan diantara mereka mengatakan bahwa “tidak ada uang tidak ada suara, ada uang ada suara”.
Sehari sebelum hari H, tidak ada parpol peserta pemilu 2014 manapun yang tidak menggunakan money politik, ketika ayam jantan berkokok sudah ada orang-orang yang membagikan amplop kerumah-rumah. Nominalnya rata-rata Rp. 25.000 tiap caleg ada juga yang menaikkan nominalnya sekitar Rp. 30.000 an. Jika dalam 1 rumah ada 4 suara tinggal menjumlah saja berapa uang yang didapat setiap kepala rumah tangga dikalikan berapa jumlah tim pemenang caleg yang mendatanginya.
Berdasarkan apa yang saya dengar dan yang saya amati, saya menyimpulkan bahwa pesta demokrasi bukanlah pesta untuk memberikan aspirasinya terkait dengan pemimpin Indonesia dimasa mendatang, bukan untuk menentukan baik buruknya bangsa, dan menentukan putra putri terbaik bangsa untuk mengemban amanah 5 tahun kedepan. Juga bukan pesta yang bisa mengayomi berbagai aspirasi yang dimiliki dan disampaikan oleh rakyat. Namun, pesta demokrasi adalah pesta uang untuk rakyat, pesta rakyat yang dimanjakan lembaran uang untuk membeli semangkuk bakso dan segelas es. Pesta yang hanya memuaskan lidah sesaat.
Ironis sekali kondisi masyarakat Indonesia, mereka puas dengan hanya merasakan nikmat sesaat dan kemudian seketika redup dan menghilang, kembali pada kenyataan hidup yang harus dijalani.
Dengan melihat kenyataan yang ada, lantas akankah 5 Tahun kedepan Indonesia akan lebih baik ? atau sama saja dengan tahun-tahun yang lalu ? tidak ada perubahan, tetap menjadi bangsa yang terpuruk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H