"Pak, kenapa bapak tidak mau naik pesawat?" tanya saya kepada seorang bapak yang tinggal di dekat lautan, kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bapak itu menjawab "saya takut naik pesawat karena saya lihat di televisi seringkali dikabarkan pesawat mengalami kecelakaan." Ini merupakan bagian dari diskusi singkat saya ketika berada di Wakatobi pada tahun 2016.
Bapak itu berprofesi sebagai seorang guru di sekolah dasar, dan dia seringkali mendapat tawaran dari pihak sekolah untuk mengikuti pelatihan di Jakarta maupun di Makassar. Namun, bapak ini selalu menolak tawaran itu, bukannya tidak mau tetapi karena dia takut naik pesawat. Jadi, setiap kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai seorang guru terlewatkan begitu saja.
Bapak ini mau berangkat ke Jakarta maupun di Makassar dengan syarat, yakni harus naik kapal laut atau lewat jalur darat menggunakan mobil. Dia mengatakan bahwa kalau naik pesawat, kemudian tiba-tiba mendapat 'musibah kecelakaan' maka tidak bisa lagi menyelamatkan diri, dan sudah pasti dia tidak mau peristiwa itu menimpa dirinya.
Bapak itu mengatakan bahwa lebih baik dan lebih aman itu naik transportasi darat dan laut, karena resikonya begitu kecil ketika mengalami kecelakaan dibandingkan dengan pesawat udara. Faktor utama yang membuatnya tidak berani untuk naik pesawat adalah karena dia sangat mengingat tentang peristiwa kecelakaan pesawat udara, baik dari surat kabar maupun berita di televisi yang dia lihat.
Banyak yang mengatakan bahwa bapak itu mengalami fobia atau ketakutan berlebihan terhadap suatu hal atau fenomena, sehingga dapat mengganggu aktivitas dan kehidupannya sehari-hari.
Dalam psikologi klinis hal itu disebut aerophobia (Yunani: aero berarti udara, dan phobos berarti takut), hal itu berarti suatu perasaan ketakutan berlebihan tentang sesuatu yang berkaitan dengan udara; baik itu naik pesawat udara, balon udara, maupun helikopter. Gejalanya bermacam-macam, baik itu keringatan, gugup, gelisah, pikiran yang tidak jernih dan perasaan takut mati.
Ini merupakan fobia yang paling umum di seluruh dunia, dan kurang lebih sekitar 30% masyarakat pernah dan masih mengalami fobia naik transportasi udara. Baik itu Aerofobia dalam skala kecil hingga skala besar atau kronis, yang menyebabkan seorang manusia terganggu kejiwaannya tentang hal tersebut.
Manusia tidak bisa lepas dari ketakutan, baik takut tidak dapat jodoh, takut tidak bisa makan, takut tidak dapat pekerjaan, takut akan masa depan, maupun takut akan kematian. Semua itu dikatakan normal ketika ketakutan tidak menguasai kehidupan kita, sehingga kita bisa melanjutkan hidup. Hal itu menjadi tidak normal ketika ketakutan yang berlebihan menguasai seluruh aspek kehidupan kita dan mengganggu aktivitas kita setiap hari.
Sama seperti yang dialami oleh bapak tersebut yang memiliki aerofobia. Akhirnya, sampai sekarang bapak itu tidak pernah berani untuk naik pesawat udara, karena ada ketakutan dalam pikirannya kalau naik pesawat akan mengalami kecelakaan dan langsung menghilang dari muka bumi ini.
Hal penting yang perlu diingat bahwa setiap manusia akan menghadapi kematian, betapapun kita takut tentang hal tersebut kematian akan datang, sesuai dengan waktu dan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H