Lihat ke Halaman Asli

Eleazar Evan Moeljono

Pendidik | Mobilitas Sosial | Kepemimpinan

Refleksi Merdeka Belajar Separuh Dasawarsa

Diperbarui: 18 Oktober 2024   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Thomas Park di Unsplash

Kita sudah melewati satu periode transformasi pendidikan yang luar biasa lima tahun terakhir. Transformasi digital di sekolah-sekolah Indonesia terbukti menjawab permasalahan akses dan pemerataan pendidikan seperti yang dibahas UNESCO Gateways to Public Digital Learning Initiative. Sebagai respons dari transformasi tersebut, peningkatan kapasitas guru juga terus dilakukan secara massal melalui Program Pendidikan Guru dan Program Guru Penggerak. Laporan dari Bank Dunia menyatakan bahwa

the PGP program was well-implemented and positively received by teachers, whose teaching practices improved along a range of dimensions, including: application of positive discipline, classroom culture, and instruction. 

Bahkan, OECD mengapresiasi upaya transformasi Merdeka Belajar yang telah diupayakan seluruh lini pendidikan selama lima tahun terakhir. Tentu, kerja keras setiap orang yang terlibat perlu diapresiasi. Dari pembuat kebijakan hingga guru di sekolah, semua sudah mengupayakan perubahan yang signifikan. Energi, waktu, dan emosi yang terkuras demi mengubah wajah pendidikan kita tidak akan kembali sia-sia. Saya yakini itu.

Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan merupakan salah satu pendukung perumusan kebijakan merdeka belajar. Mari kita simak apa yang PSPK percaya tentang Merdeka Belajar, diambil dari situs mereka:

Semangat Merdeka Belajar yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara sepatutnya mampu memberikan ruang untuk daerah menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang tersedia. (...) Filosofi Merdeka Belajar berkait erat dengan konsep pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), pembelajaran mandiri (self-regulated learning), dan pola pikir berkembang (growth mindset). 

Saya secara pribadi sepaham dan mendukung penuh apa yang diupayakan dari semangat Merdeka Belajar ini. Hanya saja, percakapan di lapangan, terutama di antara orang tua dan guru yang melaksanakan pembelajaran secara langsung, membuat saya banyak berefleksi. Terdapat dua isu besar yang saya hendak diskusikan di tulisan ini:

1. Isu semangat belajar

Kebijakan Merdeka Belajar yang menghapus UN dan menghilangkan 'tidak naik kelas' menumbuhkan anggapan bahwa pendidikan Indonesia sekarang tidak lagi memicu semangat belajar. Hal ini banyak saya dengar dari lulusan sistem pendidikan yang lama. Mereka membandingkan anak-anak zaman sekarang yang tidak lagi dianggap bersemangat belajar dengan menghafal berjam-jam di malam hari sebelum ujian dengan kondisi zaman dulu. Sejujurnya saya gatal menjelaskan panjang lebar tentang rasional di balik penghapusan UN dan peniadaan 'tidak naik kelas', namun tulisan ini tidak bertujuan untuk itu.

Mari kita soroti anggapan orang terkait semangat belajar.

Saya terberkati  dengan gagasan teman dekat saya pada TEDxBoston University. Dalam pemaparannya, Devina menjelaskan bahwa membandingkan keadaan sosial berdampak buruk terhadap perkembangan seseorang. Tidak jarang, kita justru tidak semangat ketika melihat orang lain sudah sukses di saat kita masih bersusah payah untuk sekadar bertahan. Maka dari itu, Devina memperkenalkan metode  "DCE" yang merupakan singkatan dari Define, Create & Commit, dan Enjoy.

  • Define your success: tanyakan pertanyaan berkaitan penemuan jati diri, apa yang menarik minat kita, tujuan kita,dan lain-lain.
  • Create your own opportunities & commit to your goals: Alih-alih mengeluh, buat kesempatan untuk diri sendiri dan tunjukkan komitmen pada tujuan. Tidak banyak berganti haluan dan berputar-putar akan menolong mewujudkan impian.
  • Enjoy the journey: Perjalanan ini akan penuh tantangan, tetapi kesulitan membantu kita tumbuh sebagai pribadi. Selama proses ini, kita tidak boleh membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tetapi berinvestasilah pada peluang yang bisa kita buat.

Penjelasan ini mungkin terdengar sederhana, namun esensial terutama apabila dipercaya dalam tingkat sistem. Mari kita refleksikan: apa definisi sukses masyarakat Indonesia? Hal ini tentu akan memengaruhi keputusan dalam memilih sekolah, mengambil kesempatan pengembangan diri, dan menentukan tujuan. Pada akhirnya, kita akan menginvestasikan sumber daya (waktu, tenaga, uang) untuk menikmati perjalanan ini.

Teringat betul 10 tahun yang lalu di SMA saya masih menjalani sistem Kurikulum 2013. Definisi sukses masyarakat saat itu adalah memiliki penghasilan yang stabil, sehingga proses pendidikan 3 tahun di SMA mengarahkan kami untuk mencapai stabilitas itu dari institusi pendidikan lanjutan yang kami tempuh. Sekolah kedinasan menjadi sasaran prioritas, diikuti perguruan tinggi negeri yang memiliki biaya lebih murah dibanding swasta.

Sebagai seorang remaja yang masih tidak tahu apa-apa, saya menikmati seluruh proses pembentukan menjadi individu yang siap lolos seleksi perguruan tinggi. Jujur, saya tidak merasa terbentuk secara nalar kritis, kreativitas, komunikasi, maupun kerja sama. Saat itu belajar didefinisikan dengan menguasai materi secara pribadi, menjadi subject-matter expert yang bisa menjawab soal dengan leluasa.

Saya kaget karena ternyata kini dunia kerja tidak membutuhkan subject-matter expert tersebut. Seluruh pencapaian akademis saya di sekolah maupun perguruan tinggi ternyata tidak berimbas baik pada kemampuan saya bertahan dalam tekanan maupun bekerja secara lincah. Saya adalah produk kurikulum lama. Semangat belajar saya tinggi. Namun rupanya kesejahteraan saya tetap stagnan karena kecakapan saya tidak terlengkapi.

Sumber: Ed Us di Unsplash

Bagaimana dengan anak-anak yang adalah produk Merdeka Belajar? Apakah mereka benar-benar tidak semangat belajar? Jawabannya bisa kita lihat 5-10 tahun lagi. 

2. Isu partisipasi orang tua

Salah satu gerakan yang dianjurkan Merdeka Belajar adalah mengantarkan anak di hari pertama sekolah. Di Indonesia, hari pertama sekolah banyak diisi orientasi yang beraneka ragam: dari sosialisasi program belajar di sekolah hingga aktivitas hiburan yang dikerjakan bersama kakak kelas. Hadirnya orang tua di hari pertama diharapkan memperlengkapi rangkaian orientasi ini sehingga timbul kesadaran bahwa orang tua juga perlu ikut campur dalam pendidikan anak.

Sayangnya, hal ini juga menjalar ke permasalahan lain. 

Sebelum ada gerakan mengantar anak, selama ini orang tua sudah berpartisipasi dalam belajar anak dengan mengerjakan pekerjaan rumah anaknya. Dahulu pekerjaan rumah tersebut adalah menulis, menjawab soal, dan membuat parakarya. Mudah. Seketika semua menjadi rumit ketika penugasan berubah ke proyek yang tak jarang kolaboratif dan menghasilkan produk. Orang tua sendiri jadi kelabakan.

Pandangan saya terhadap isu ini sederhana: orang tua bukan joki. Sejatinya, orang tua memainkan peran yang salah dengan terlibat mengerjakan tugas anaknya. Pola pengasuhan di Indonesia yang tidak sehat ini justru yang membutuhkan penanganan serius. Tidakkah kita sadar bahwa pendidik utama seorang manusia adalah orang tuanya?

Saya mau mengajak kita melihat pengaruh pendidikan orang tua terhadap kesuksesan anaknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Novosad dan tim (2024) menjabarkan korelasi antara peringkat sosial ekonomi peraih Nobel dan kemungkinan keberhasilan mereka. Ilmuwan peraih Nobel sebagian besar berasal dari keluarga elit. Wajar, ini berkaitan dengan Teori Kebutuhan Maslow yang menyatakan sebelum memenuhi kebutuhan tingkat tinggi, seseorang perlu memenuhi kebutuhan dasar. Ilmuwan dari keluarga elit tidak perlu pusing memenuhi kebutuhan dasar.

Litbang Kompas (2024)


Mari kita lihat kenyataan pahit: 76,05% penduduk Indonesia tergolong kelas rendah dan menengah bawah. Ini artinya 3/4 anak-anak Indonesia tumbuh besar di tengah keluarga yang kesusahan memenuhi kebutuhan dasar! Sebagian besar orang tua di Indonesia tidak mampu mengeluarkan dana tambahan untuk pemenuhan kebutuhan anak-anaknya selama masa bertumbuh. Bisa dibayangkan apa saja partisipasi yang orang tua bisa berikan dengan situasi seperti ini: lelah bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup, orang tua tidak bisa hadir secara utuh dalam pendidikan anaknya. Sekolah seakan hadir hanya sebagai pengganti ketidakmampuan orang tua mendidik anak.

Belum lagi kalau kita bicara soal tingkat pendidikan orang tua. Sebagian besar peraih Nobel tadi orang tuanya berpendidikan tinggi! 

Sekarang mari kita bertanya pada diri kita sendiri: apa yang bisa kita kerjakan untuk berkontribusi mengatasi kedua isu ini? Pendidikan milik kita semua, dan saya percaya ini adalah investasi terbaik untuk pembangunan suatu negara. Jika kita ingin melihat negara kita suatu hari bisa menjadi tempat yang makmur dan rakyatnya sejahtera, kita perlu investasi dari sekarang, dari pendidikan.

Sumber: Mosaic Connection

Sebentar lagi Prof. Abdul Mu'ti akan dilantik menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Saya doakan agar kepemimpinan beliau bisa amanah, membawa sistem pendidikan nasional ke arah yang menyejahterakan setiap kita, terkhusus anak-anak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline