Lihat ke Halaman Asli

Resolusi 2016 #3:"Tahun Tingkatkan Revolusi Mental, Singkirkan Biang-biang Gadung Hitam!"

Diperbarui: 31 Desember 2015   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 GADUH “PUTIH” DAN GADUH “HITAM” DI MASELA

Kemudian adalah tentang pilihan teknologi pengembangan Blok Masela. Isu ini memang masih sangat jauh dari perhatian publik secara luas- kecuali mungkin bagi warga kepulauan Maluku yang merupakan pewaris dari kekayaan gas di laut Masela. Namun bagaimanapun isu ini teramat strategis terlebih bila ditinjau dari pengembangan konsep Poros Maritim dan “pembangunan dari titik terluar” (seperti dimuat dalam Nawacita). Seperti kita tahu salah satu syarat untuk terwujudnya Poros Maritim adalah terjadinya konektivitas yang erat antar Provinsi dan Pulau. Dan konektivitas sendiri dapat terwujud apabila gap atau ketimpangan pendapatan antar pulau semakin kecil. Dalam konteks Blok Masela, yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Maluku yang masih merupakan provinsi termiskin ke-2 di Indonesia, maka sedapat mungkin kekayaan gas di bawah laut tersebut harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk memakmurkan, terlebih dahulu, rakyat Maluku terutama masyarakat yang berada di Pulau Saumlaki (wilayah NKRI yang berbatasan dengan Australia).

Caranya adalah dengan menghentikan segala macam model pembangunan yang andalkan ekspor bahan mentah tanpa nilai tambah apapun seperti yang dahulu menjadi road map pembangunan ekonomi Orde Baru. Sayangnya model ini masih coba untuk diterapkan oleh segelintir pengambil kebijakan di SKK Migas, pemberi rekomendasi, dan Kementerian ESDM, sebagai pemberi keputusan.  Dalam PP no 35/2004, tentang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, pasal 50, ayat 1,2 disebutkan: (1) Menteri menetapkan kebijakan pemanfaatan Gas Bumi dari cadangan Gas Bumi dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi secara optimal dengan mempertimbangkan kepentingan umum, kepentingan negara, dan kebijakan energy nasional; (2) Dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mempertimbangkan aspek teknis yang meliputi cadangan dan peluang pasar gas bumi, infrastruktur baik yang tersedia maupun yang direncanakan dan usulan dari badan pelaksana.

Yoga Suprapto, mantan dirut Badak NGL, sekarang merupakan ahli dari Fortuga (Forum Tujuh Tiga ITB), dalam paparannya di KeRajawali Maritim, 22 Desember 2015, menyatakan bahwa INDONESIA BUKAN NEGARA YANG KAYA SUMBER DAYA ENERGI. Adalah mitos, bila masih ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa Indonesia kaya sumber daya alam energi.

Tersebutlah data yang menyebutkan bahwa cadangan minyak yang dimiliki Indonesia hanya 0,64% dari total cadangan minyak dunia, cadangan batubara Indonesia hanya 0,55% dari total cadangan batubara dunia, sedangkan cadangan gas “lumayan besar” yaitu hanya 1,53% dari total cadangan gas dunia. Sedangkan bila dihitung berdasarkan cadangan energi yang terbukti (dalam satuan BOE) Indonesia memiliki sebesar 3,9 miliar BOE, di antara-antara negara-negara pemilik sumber daya energi nilai ini hanya lebih baik dari Filipina (0,1 miliar BOE), Thailand (0,4 miliar BOE), Myanmar (0,1 miliar BOE), Papua Nugini (0,2 miliar BOE), Brunei (1,1 miliar BOE), Australia (1,5 miliar BOE) dan sedikit lebih buruk dari Malaysia (4 miliar BOE) dan Vietnam (4,4 miliar BOE). Bandingkan dengan cadangan energi yang terbukti dimiliki oleh China (20 miliar BOE), Amerika Serikat (27 miliar BOE), Brasil (14 miliar BOE), Nigeria (37 miliar BOE), Rusia (60 miliar BOE), Iran (151 miliar BOE), Kanada (174 miliar BOE), Irak (143 miliar BOE), Saudi Arabia (267 miliar BOE), Venezuela (211 miliar BOE), Libya (47 miliar BOE), Kuwait (104 miliar BOE), dan Qatar (25 miliar BOE).

Seharusnya melihat kenyataan data yang dipaparkan, kebijakan energi nasional yang merupakan wewenang Kementerian ESDM tidaklah hanya berdasarkan keekonomian pengembangan lapangan gas saja, tetapi harus juga sudah mulai berpikir untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan mengembangkan perekonomian nasional terutama di Maluku dan Indonesia Timur demi terwujudnya Poros Maritim dan berjalannya amanat Pasal 33 UUD 1945. Bila kesempatan “emas” ini kita lewatkan, maka sekali lagi kita akan kembali kepada model pembangunan berbasis sumber daya alam ala Orde Baru.

Di mana gas alam dari Bontang dan Arun kini sudah kosong atau tinggal sedikit, karena puluhan tahun sejak 1970-an gas alam di wilayah-wilayah tersebut dibawa ke Jepang, Taiwan, dan Korea melalui Singapura, diproses di industri-industri mereka dan produksi turunannya harus kita impor kembali sebagai bahan yang nilainya berkali-kali lipat. Sebagai salah satu contoh, untuk pembuatan plastik bahan gelas air mineral, yang merupakan produk sampingan dari hilirisasi gas alam, sektor bisnis air mineral di Indonesia harus menghabiskan Rp100-an trilyun pertahun untuk mengimpornya dari Singapura. Dapat dibayangkan bagaimana bila di Indonesia dapat didirikan industri semacam ini, dapat dibayangkan betapa melesatnya kemakmuran masyarakat kita dengan keberadaannya.       

Maka sangat wajar bila pada akhir September 2015, si Rajawali jago ngepret kembali menciptakan gaduh “putih” dengan mengepret pengesahan rencana proyek pengembangan/plan of development/POD FLNG (Floating LNG) untuk Blok Masela yang dijadwalkan adalah pada 10 Oktober 2015. Si Rajawali menyarankan agar Kementerian ESDM memilih opsi membangun OLNG (Onshore LNG) karena pertimbangan-pertimbangan yang sudah dipaparkan sebelum ini, mewujudkan Poros Maritim, Pasal 33 UUD 1945, dsb.

Seperti biasa, si menteri ESDM kembali melawan dengan mengatakan bahwa pihaknya lebih mempercayai rekomendasi SKK Migas (yang tentu menyuarakan kepentingan K3S pengembang Blok Masela, yaitu Shell dan Inpex) dalam memutuskan POD Blok Masela daripada saran dari si Rajawali. Syukurlah Presiden Jokowi segera turun tangan, dan meminta agar waktu pemutusan diundur karena dirinya juga tidak yakin dengan opsi FLNG. Karena tidak ingin kehilangan muka lagi (seperti dalam kasus perpanjangan kontrak Freeport), si menteri ESDM berkelit dengan menyarankan agar disewa konsultan asing untuk dapat menilai perbandingan kedua opsi FLNG atau OLNG. Sayangnya Presiden Jokowi akhirnya setuju dan meminta agar nanti pihak konsultan asing tersebut juga mempresentasikan hasil penilaian ahlinya kepada dirinya dan para menteri terkait.

Agak disesalkan juga, mengapa untuk memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa dan rakyat Indonesia ke depan, masih juga harus mengandalkan asing. Bagaimanapun, bulan lalu, setelah melalui proses tender yang diadakan tim yang dibentuk Kementerian ESDM, dipilihlah kemudian Poten and Partners, lembaga konsultan asal Australia sebagai penilai yang ditunjuk. Kemungkinan besar, bila yang dikaji hanya aspek keteknikan migas dan keekonomian ladang gas tanpa mempertimbangkan pembangunan ekonomi masyarakat Maluku dan Indonesia Timur, maka si konsultan akan lebih merekomendasikan FLNG dibandingkan OLNG.        

Sementara itu, para pendukung FLNG mulai menciptakan gaduh “hitam”, dari staf khusus si menteri ESDM yang menyerang Tim Fortuga sebagai kumpulan teman-teman, bukan ahli profesi, bukan organisasi resmi, dan tidak berbadan hukum. Si staf khusus menteri ESDM juga meragukan keahlian dari anggota Fortuga dan menduga terdapat kepentingan pribadi dan kelompok di dalam tubuh Fortuga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline