Lihat ke Halaman Asli

Elda Febriantie

Penulis amatir

Meningkatnya Kontravensi Seiring Maraknya Social Climber (Pansos)

Diperbarui: 29 September 2019   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti yang kita ketahui , yang namanya "interaksi sosial" pasti dapat dengan mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Baik itu di kampus, di tempat nongkrong, di rumah, atau tempat-tempat lainnya. Contoh kecil ,ketika kita mendapat tugas kelompok dari dosen, tanpa disadari, proses pengerjaan tugas dalam kelompok merupakan salah satu bentuk interaksi sosial.

Sebenarnya, interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari di masyarakat, mampu menciptakan pola-pola atau bentuk hubungan yang dapat mempererat atau malah mengubah kondisi masyarakat tersebut. Kalau dalam kajian sosiologi, interaksi sosial dapat berbentuk asosiatif dan disosiatif.Adapun proses sosial disosiatif itu lebih mengarah ke perpecahan baik dalam individu atau kelompok,dan disosiatif ini identik dengan hal-hal "negatif".

Kontravensi adalah salah satu bagian dari bentuk interaksi sosial yang termasuk proses interaksi disosiatif. Kontravensi juga merupakan wujud proses sosial yang berada diantara pertikaian dan pertentangan. Kontravensi tersebut ditandai dengan perasaan tidak suka yang tersimpan dalam hati,juga bisa memunculkan keraguan hingga timbul kebencian.Bisa dibilang bahasa keren nya saat ini itu "iri" atau "dengki". Namun dalam bahasa sosiologi disebut dengan kontravensi.Kontravensi memang sangat sulit untuk diketahui dan sangat sering terjadi secara sadar  ataupun tidak oleh pelakunya.

Sejak populernya media sosial ,setiap orang sepertinya sudah tidak begitu membatasi sesuatu yang layak atau tidak untuk di bagikan ke ruang publik seperti halnya tentang kehidupannya. Mungkin sebagian orang berfikir bahwa sesuatu yang terjadi pada dirinya harus dipublikasikan ,agar semua orang tahu apa yang dia lakukan saat itu. Mereka mungkin hanya ingin mendapatkan perhatian saja tanpa perlu diberi apresiasi.

Sebagian orang menyebut perilaku seperti ini dengan perilaku pamer dan narsistik. Namun disisi lain ada yang menganggap hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Menurut psikolog Vierra Adella,M.Psi , saat ini nilai-nilai yang dianut mayoritas orang memang ketenaran,karena media sosial banyak memberikan banyak ruang untuk menunjukkan siapa diri kita.

Panjat sosial sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kaum milenial sekarang,karena  saat ini sedang ramai dibahas.Gangguan ini dialami oleh orang yang sering update status di media sosial. Perilaku panjat sosial sangat erat hubungannya dengan media sosial. Orang yang mengalami gangguan tersebut biasanya selalu memprioritaskan untuk segera mengupdate media sosialnya dengan tujuan agar  mendapatkan respon dari orang lain.

Keinginan untuk diperhatikan berlebih dan dinilai sempurna di media sosial inilah yang salah. Keinginan inilah yang menimbulkan gangguan mental terhadap pelaku dan menyebabkan kontravensi oleh orang lain. Orang lain mungkin akan merasa risih dan bisa jadi ada yang mencoba menghasut orang lain untuk menjauhi orang tersebut.

Selain merugikan diri sendiri dan orang lain,ternyata panjat sosial atau social climber tidak dianjurkan karena itu bertentangan dengan Undang-Undang ITE. Kenapa sikap ini bertentangan? Karena social climbing atau pansos ialah orang-orang yang ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain, orang-orang yang ingin diketahui bahwa dirinya paling hebat. Sehingga, hal itu membuat dirinya melakukan sesuatu yang di luar batas wajar. Sikap seperti ini seharusnya tidak boleh dimiliki, dan harus dibuang jauh-jauh karena ini bersikap SARA. Jika memang tetap kekeh ingin memposting hal yang tidak pantas seperti panjat sosial, ya konsekuensi nya akan ditanggung masing-masing pribadi. Jika dibiarkan, siap-siap undang-undang ITE menjeratmu.

Oleh sebab itu,agar kalian tidak terjerat dalam masalah besar hanya karena sikap pansos di media sosial, bijaklah dalam menggunakan media sosial saat ini.Dan juga jangan mudah mengkontravensi sesuatu yang menurut kalian tidak sesuai dengan kalian. Jika melihat atau menilai seseorang didasari oleh rasa iri dan benci,apapun yang dilakukannya akan tetap salah dimatamu walau itu benar sekalipun. Apalagi jika memang itu terbukti perbuatan yang salah,tiada habis kata-kata kita untuk menghardiknya.

Tetaplah berhusnudzon terhadap diri sendiri dan orang lain agar tercipta interaksi sosial yang harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline