Paradigma konstruktivisme sendiri adalah paradigma yang memandang sebuah permasalahan dan realitas dalam masyarakat bersifat subjektif. Realitas bisa berbeda-beda tergantung pada bagaimana konsepsi Ketika realitas itu dipahai oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19).
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Teori konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Paradigma konstruktivis diartikan sebagai pandangan terhadap peristiwa yang bersifat generative, yaitu perilaku menyimpulkan suatu makna dari apa yang dipelajari. Teori konstruktivis memiliki pemahaman yang lebih menekankan pada hasil daripada proses. K. Bertens mengatakan gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.
Opini K. Bertens semakin terbukti ketika Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengemukakan bahwa manusia adalah mahkluk sosial, setiap perkataan harus dibuktikan dengan kebenaran, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Pendekatan paradigma konstruktivis memiliki penilaian tersendiri melihat media, wartawan dan berita. Paradigma konstruktivis memandang fakta/peristiwa sebagai hasil konstruksi. Kaum konstruksionis menganggap bahwa realitas bersifat subjektif. Menurut kaum konstruksionis, kenyataan atau realitas dihadirkan sesuai dengan konsep subjektif wartawan.
Oleh karena itu, realitas tidak sama, tergantung pada bagaimana wartawan yang berbeda memiliki konsepsi dan pemahaman yang berbeda pula dalam memandang realitas tersebut.
Paradigme konstruktivis memandang bahwa media adalah agen konstruksi. Paradigma ini memiliki pemahaman bahwa media bukanlah semata-mata sebagai saluran yang bebas, tetapi juga sebagai subjek yang merekonstruksi realitas. Dalam hal ini paradigma rekonstruksi menilai media sebagai penyalur realitas yang juga sebagai pembentuk atau penggiring opini public atas realitas yang disebarkannya.
Misalnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi kepada pasangan selebriti Lesty dan Billar. Media yang memberitakan tentang kasus ini akan sangat berperan besar terhadap pembentukan opini public, dalam hal ini public yang dimaksud adalah setiap individu yang melihat realitas yang disebarkan.
Media dapat menggiring opini publik untuk mendukung Lesty Kejora menggugat dan memenjarakan suaminya yang telah melakukan kekerasan kepadanya. Sebaliknya, media juga dapat menggiring opini masyarakat untuk mendukung Lesty mencabut gugatannya dan memaafkan suaminya.
Penggiringan dan pembentukan opini publik dapat terjadi karena sudut pandang, tata bahasa dan pemilihan kata yang dipilih oleh media tersebut untuk disebarluaskan. Berita yang disampaikan oleh suatu media bukanlah sebuah refleksi dari realitas. Akan tetapi, media menerbitkan berita yang telah direkonstruksi dari realitas yang ada.
Dalam makalah ini penulis akan mengambarkan bagaimana kasus kekerasan dalam rumah tangga Lesty-Billar dari sudut pandang paradigma kontruktivis.