Lihat ke Halaman Asli

Sofa Hangat Mama

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nindya terhenyak dari duduknya dan bangkit lagi. Ia tak habis pikir. Ia mencoba melihat situsi sekeliling, tak ada seorang pun di Ruang Tengah. Mama masih tidur pulas di kamar. Bik Ijah? Bik Ijah bahkan sudah dua hari pulang kampung. Ia pandangi lagi sofa yang baru saja didudukinya. Ia berjongkok di dekat permukaan kulit sofa. Ia menyentuh dan merabanya. Hangat! Kenapa sofa ini bisa hangat? Hangat seperti baru saja diduduki oleh seseorang.

“Siapa yang duduk di sofa ini?” bisik Nindya pada dirinya sendiri. “Tak mungkin Mama, terlebih lagi Bik Ijah. Mama sudah pulas tertidur sebelum aku berangkat tidur.”

Nindya memutar pandangannya ke penjuru ruangan. Bingung! Mengapa sofa ini hangat? Hangat sekali. Nindya menempelkan tangannya ke permukaan sofa lagi, bahkan setelah beberapa menit masih hangat. Tak ada cahaya masuk yang memungkinkan sofa tersiram panas dan jadi hangat. Matahari belum lagi muncul, bahkan korden belum lagi ia buka. “Apa yang membuat kursi ini hangat?” bisiknya lagi.

“Apa karena lampu ruangan?” tanyanya pada diri sendiri. Tapi Lampu ruangan juga baru saja ia hidupkan. Lampu tak akan dapat menghangatkan sofa ini. Setiap malam sebelum tidur lampu juga selalu nyala, tapi sofa ini tak pernah sehangat seperti saat ini.

Nindya tak menemukan jawaban. Ia terpekur di bibir sofa. Ia dekatkan wajahnya ke sana, tiba-tiba ia mencium sesuatu, bau yang tidak asing. Harum yang pernah dulu ia kenali. Nindya mencium permukaan sofa tersebut dan mencoba memastikan. Mengingat-ingat. Entah mengapa dadanya jadi berdegub lebih cepat.

“Ada apa Nindya?” terdengar suara di belakangnya. Ternyata mamanya telah bangun tanpa ia sadari. “Kenapa kamu terpekur di sofa?” tanya mamanya.

“Tidak ada apa-apa, Ma,” elak Nindya, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Mama semalam terbangun dan duduk di sofa ya?”

Mama Nindya mengernyitkan dahi, “Semalam Mama memang terbangun, tapi tidak ke luar kamar.”

Nindya bergeser dari tempatnya dan kembali duduk di sofa. Mamanya kemudian duduk di sebelahnya dan mengelus rambut Nindya. “Sudah jangan ngelamun, kamu rindu sama Papa ya?”

Nindya tak menjawab pertanyaan Mama, tapi ia tahu Mamalah yang sangat rindu Papa. Papa sangat sibuk dengan aktivitas kantor. Sering tidak pulang ke rumah. Seperti sekarang. Papa tidak pulang lebih dari seminggu. Mama bilang Papa ada urusan kantor, ke luar kota. Tapi entahlah, kulihat mata Mama berkaca-kaca ketika mengucapkannya.

“Cepat mandi sana, Mama buatkan sarapan ya,” ucap Mama tersenyum, menyadarkan Nindya dari lamunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline