/1/
Pada saat matahari senja, rendah, terbang dalam bulat merah, satu pertemuan datang, pada hati yang mengeja tetesan embun, pada detak yang begitu rimbun. Pemuda itu duduk dengan anggun di bangku panjang lusuh di atas bukit yang selalu menjadi teman dalam pertemuan-pertemuan kecil menyambut purnama. Pemuda yang begitu tenang dalam dekap petang, tak beranjak sama sekali dalam pasungan lindap yang merayap di antara lebatnya pepohonan.
Pemuda itu tak terusik oleh kikisan angin yang bertiup langsung dari lazuardi lembah di depannya. Angin yang meroma kulit dan membelai-belai ikal rambutnya. Pemuda dengan wajah gading dan senyum kupu-kupu. Matanya cerlang menatap sosok yang tak pernah lekang ia telusuri. Sosok yang mengundang dua lengkung tanyanya.
“Ardhanari, berabad-abad berlalu, tapi tetes darah itu tak juga kunjung beku. Bagaimana kabar sarang rindu itu? Mengapa masih terbungkus rapi, haruskah aku menyibakkannya?”
/2/
Redup. Ribuan desing kilat bergemuruh di antara mega gelap yang menyentak kahyangan. Syiwa yang kroda mencabut pusaka, menebas putus satu di antara lima kepala Brahma.
“Akuilah, Brahma. Ini peringatan bagimu. Satu kepalamu memang pantas terpenggal. Bukan aku yang memenggalnya, kaulah yang memenggal kepalamu sendiri, kerinduanmu sendiri!”
Brahma diam, empat kepalanya bungkam. Darah membuncah pecah dari satu kepalanya yang terpenggal. Darah pijar itu menggelegak merah seperti lava letusan gunung yang mengalir deras menuju Bumi. Wisnu sama sekali tak punya wewenang campur tangan, ia tak bisa berkata apapun. Perselisihan ini tak bisa ia tengahi. Wisnu hanya bisa dengan sigap membendung aliran darah yang mengalir deras dari satu kepala Brahma yang terpenggal agar tidak membanjiri Bumi. Dengan segala upaya ia membendung aliran darah tersebut, tapi tak urung sebagian darah itu jatuh membasahi bumi. Darah kerinduan.
/3/
Hening, tak ada kata. Malam mulai menebar keping-keping pekat. Detik demi detik raut muram menyisir penjuru. Pemuda itu menarik napas panjang, mendongak. Bulan di angkasa kelam seperti memberikan isyarat yang tak dipahaminya.
Di kejauhan, tampak lembah yang telah gelap itu dihiasi titik-titik api yang menjalar seperti ular, meliuk dalam satu barisan. Bergerak mendekat, mendaki bukit. Barisan titik api tersebut menggemuruh lamat-lamat dengan segala bunyi-bunyian dan teriakan-teriakan.
Pemuda itu merapatkan duduknya dan merengkuh bahu wanita di sampingnya. Semerbak harum rambut wanita itu terhirup pelan di tarikan nafasnya. Matanya nanar melihat di bawah bukit.
”Pernahkah adinda mendengar sebuah kisah kerinduan. Kerinduan yang menghunjam kuat bak ribuan anak panah yang menancap di punggung, hingga punggung terlihat seperti landak. Kerinduan pada satu sosok keindahan. Kerinduan yang membuat satu kepala terpenggal. Kerinduan pada satu masif penciptaan yang luput dari indera yang dimilikinya.”