Rumah megah dengan fasilitas yang lengkap, ditambah dengan parkirnya mobil-mobil yang tergolong mahal. Pemandangan inilah yang banyak kita temui di berbagai kota di Indonesia. Tapi dibalik pajangan kemewahan sebagian manusia-manusia yang telah menyebut diri mereka SUKSES, tetap saja itu bukan prestasi !! Karena masih saja ada, bahkan banyak masyarakat kita yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Garis yang ditorehkan oleh beliau-beliau yang mengaku kaum intelektual dan bermoral. Bapak-bapak kita yang katanya PINTAR seharusnya belajar dari pasangan suami istri pemulung yang sering saya temui disekitaran Jalan Subrantas, Pekanbaru. Berbekal gerobak kayu yang sudah reot dengan membawa istri beserta anak-anaknya untuk memulung demi mendapatkan nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari. Dengan menerjang jarak yang belasan kilometer tiap harinya sebagai pemulung, keduanya masih bisa tersenyum saat saya sapa. Masyarakat yang kenal dengan pasangan pemulung ini, mengistilahkan mereka sebagai “si miskin yang sombong” , panggilan ini mungkin terlihat mengada-ada, tapi itulah realitanya. Pasangan pemulung ini sama sekali tidak akan pernah mau menerima bantuan dan sumbangan masyarakat terhadap dirinya, dan bahkan marah jika kita mau menawari bantuan. Kok bisa begitu? Karena pasangan pemulung ini tidak punya mental pengemis sama sekali. Jika anda ingin memberi bantuan apapun itu dalam bentuk benda atau makanan, jangan harap kedua pejuang kehidupan ini akan mau menerimanya. Walaupun dengan kostum yang terlihat tak ubahnya seperti gembel emis, tapi pasangan ini memiliki potensi untuk tidak berketergantungan dengan orang-orang yang merasa iba terhadap mereka. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa mereka mampu untuk hidup bahagia dengan modal ketegaran. Sang istri pemulung yang setia menemani sambil menggendong anak, akan terus mengikuti kemanapun suaminya memulung (sungguh kisah cinta yang romantis dan ironis) . Tapi kisah ini adalah contoh kecil dari drama hidup orang-orang tertindas di negara ini, namun masih punya harga diri yang tetap tak terbeli dengan harga berapapun. Hari ini yang seharusnya menjadi kebanggaan, bukan lagi menjadi manusia yang terukur dengan materi, tetapi lahirlah menjadi makhluk yang kokoh atas nama cinta sesama manusia. Peduli setan apa itu kompetisi sosial, kompetisi yang hanya mengejar status, kompetisi finansial yang rakus, kompetisi iman yang sebenarnya tandus, kompetisi jabatan oleh orang-orang yang sebenarnya masih beringus dan tidak serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H