Sabtu, 1 Oktober 2022 sepakbola Indonesia kembali berduka, kekacauan kerumunan pasca pertandingan antara Arema melawan Persebaya merenggut nyawa lebih dari 130 supporter.
Dalam setiap kekacauan dalam kerumunan yang menciptakan korban, sangat mudah untuk menyalahkan perusuh atau kelompok supporter, realitanya perusuh hampir selalu jadi minoritas, dan berbagai kerusuhan antar kelompok suporter di Indonesia jarang menimbulkan jumlah korban yang sangat besar. Kematian yang disebabkan oleh "perusuh" di Indonesia lebih umum terjadi dengan pola pengeroyokan pada satu atau dua kelompok suporter lawan atau orang yang tidak terlibat sama sekali.
Terlebih lagi, tragedi stadion terbesar di Indonesia tidak dihadiri oleh suporter Persebaya Surabaya, sehingga kerusuhan antar suporter seharusnya bukan menjadi penyebab utama korban jiwa.
Perusuh atau kelompok suporter memang menjadi objek yang mudah untuk disalahkan dalam berbagai kekacauan dalam kerumunan yang menciptakan korban. Kekacauan kerumunan memang yang menyebabkan korban jiwa memang sering dipicu oleh perusuh. Namun asumsi tersebut tidak menjawab fakta bahwa kematian dalam kerumunan besar juga terjadi pada event damai dan agak sulit membayangkan ada perusuh, misalnya tragedi Haji 2015 dan tragedi Terowongan Mina 1990.
Lebih lanjut, bentrokan yang sangat serius antar dua kelompok suporter sekalipun tidak pernah menyebabkan korban jiwa yang mencapai lebih dari lima puluh orang. Realitanya, mayoritas suporter tidak dibunuh oleh parang lawan tawurannya, suporter dibunuh oleh manajemen kerumunan yang buruk dan infrastruktur stadion.
Berkaca dari Berbagai tragedi Stadion di Dunia
Sebagaimana telah saya sampaikan, hampir semua tragedi stadion dalam skala besar selalu disebabkan oleh dua hal; manajemen kerumunan yang buruk dan stadion yang minim pertimbangan keamanan.
Sebut saja tiga tragedi stadion terbesar di Eropa; Ibrox 1971, Heysel 1985, dan Hillsborough 1989. Dari ketiga, tragedi tersebut, hanya satu tragedi yang dapat dideskripsikan sebagai "tawuran" atau "kerusuhan" yaitu Heysel 1985.
Tragedi Heysel 1985, memang diawali dari saling lempar batu antar suporter Liverpool dan Juventus. Akibat kerusuhan tersebut, kelompok suporter yang tidak ingin terlibat lari menuju ke tembok stadion dan meruntuhkan dinding stadion tersebut. Namun, faktor utama besarnya korban jiwa bukan tembok yang runtuh maupun aksi saling menyerang antar suporter. Melainkan peristiwa desak-desakan dan terjepit sehingga menyebabkan kematian 39 orang. Bahkan runtuhnya tembok dianggap mencegah jumlah korban yang lebih besar, karena penonton berhasil keluar.
Sementara, Tragedi Hillsborough 1989 murni disebabkan ketidaksiapan kepolisian dan panitia pelaksana untuk mengelola kerumunan suporter Liverpool. Hal tersebut menyebabkan salah satu tribun overcapacity, suporter yang tidak dapat memanjat pagar kemudian banyak yang terinjak terjepit. Sebagai akibatnya 97 suporter meninggal dunia, dan sekitar 750 orang mengalami luka-luka.