Lihat ke Halaman Asli

Elang ML

Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Bahaya Pemidanaan Korban dalam Wacana Dimasukannya Pasal Kesusilaan ke RUU TPKS

Diperbarui: 23 Januari 2022   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fraksi PKS membacakan penolakan terhadap RUU TPKS di DPR RI (18/01/22) sumber: Website PKS.

RUU Penghapusan Kekerasan memasuki babak baru. Setelah berubah nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), dan kehilangan cukup banyak pasal, RUU tersebut akhirnya naik ke Paripurna DPR.

Partai Keadilan Sejahtera menjadi satu-satunya partai yang menolak dengan alasan bahwa mereka berpendapat bahwa peraturan tersebut sepatutnya memuat pasal-pasal kesusilaan seperti seks bebas. 

Narasi tersebut masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dan beberapa organisasi baik LSM dan Mahasiswa. Pasal-pasal kesusilaan seksual kerap dinarasikan sebagai bagian dari pencegahan kekerasan seksual di berbagai laman sosial media. Terkadang menunjukkan data rendahnya angka laporan kekerasan seksual di negara-negara yang mengatur mengenai perzinahan.

Hal lain yang sering tidak dibahas adalah, angka kekerasan seksual berdasarkan laporan ke institusi pemerintah memiliki deviasi besar dibandingkan dengan angka sebenarnya. Berbagai faktor seperti kultur masyarakat, reaksi dari institusi yang berwenang, sampai sulitnya sulitnya mengumpulkan bukti hanya sedikit faktor yang mempengaruhi. Fenomena yang kerap disebut sebagai Tip of The Iceberg yang hampir terjadi di seluruh negara dengan tingkat deviasi yang beragam.

Tentu struktur hukum suatu negara berpengaruh apakah korban pada akhirnya melaporkan kekerasan yang dialaminya atau tidak.

Bahaya Pasal Kesusilaan Dalam Beleid Kekerasan Seksual
Sebagaimana telah dibahas, kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sulit untuk dibuktikan karena seringkali terjadi di tempat privat. Terlebih, dalam beberapa kasus korban memerlukan waktu sebelum akhirnya memilih untuk menceritakannya, apalagi untuk membuat laporan ke institusi yang berwenang. 

Lebih lanjut, dalam berbagai kasus seksual terhadap, fenomena tonic immobility sangat mungkin terjadi secara psikologis. Di mana, korban tidak bereaksi atau melawan karena ketakutan yang terjadi akibat serangan pelaku. Hal tersebut sangat berpotensi membuat penegak hukum yang tidak memiliki pemahaman mengenai kasus-kasus kekerasan seksual justru menuduh korban suka-sama-suka.

Di sinilah pasal-pasal kesusilaan menjadi bermasalah. Perbedaan paling mendasar antara pemerkosaan dan zina adalah ada atau tidaknya persetujuan, paksaan, kekerasan, atau ancaman kekerasan. Celakanya, perbedaan tipis tersebutlah yang sebagaimana telah dijelaskan cenderung sulit untuk dibuktikan. Plus, pemahaman atau subjektivitas penegak hukum dan hakim yang sangat beragam. 

Maka sesuatu yang sebelumnya menjadi kesulitan dalam penanganan kasus kekerasan seksual, menjadi sesuatu yang memiliki potensi besar kriminalisasi korban.  

Apabila wacana dimasukkannya pasal-pasal kesusilaan diamini oleh DPR dan Pemerintah dalam pengesahan RUU TPKS. Implikasinya apabila terbukti kekerasan, ancaman, atau tidak ada persetujuan maka pelaku akan dijadikan tersangka, dan dipidana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline