Penghujung 2019 merupakan waktu yang sangat mendebarkan bagi dunia pemberantasan korupsi Indonesia sebab Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sedang dibahas di DPR. Tidak hanya itu, KPK juga sedang menjalani perubahan kepemimpinan, dan beberapa calon mendapat persepsi yang buruk dari publik.
KPK bahkan membeberkan dugaan pelanggaran etik Irjen Firli Bahuri saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK di gedung Merah Putih. Tapi apa daya, Firli Bahuri tetap berhasil menjadi ketua KPK, sementara Revisi Undang-Undang KPK berhasil disahkan.
Beberapa waktu lalu, KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri melakukan operasi tangkap tangan pertamanya, dan menemukan dugaan penyerahan uang dari pihak Rektor UNJ kepada pejabat di Kemendikbud sebesar 25,5 juta Rupiah dan US$ 1.200. Anehnya, KPK justru menyerahkan kasus tersebut ke kepolisian, dan sampai sekarang pihak kepolisian masuh belum menetapkan tersangka atas kasus ini.
Menelaah Nalar KPK dibawah Pimpinan Firli Bahuri
PLT Juru Bicara KPK menjelaskan bahwa pelimpahan kasus ke kepolisian adalah karena pihaknya belum menemukan unsur pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Dengan demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK harus dierahkan ke kepolisian.
Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, mengingat berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN (yang penulis download dari website KPK), pejabat negara juga mencakup:
"Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dijelaskan dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut sebagai:
"Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraannegara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
...
3. Pimpinan Perguruan Tinggi"
Setelah dikritik banyak pihak, KPK mengklarifikasi bahwa status bukan penyelenggara negara merujuk pada Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor, yang tertangkap dengan barang bukti pada 20 Mei 2020. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi sendiri tidak mendefinisikan "pimpinan perguruan tinggi", sementara Rektor dinyatakan sebagai "Pemimpin Perguruan Tinggi". Namun apabila mengacu pada website kampus pada umumnya, pimpinan kampus umumnya dipahami sebagai Rektor dan Wakil Rektor.
Terlapas dari siapa yang tertangkap pada OTT, hal yang ganjil adalah karena Deputi Penindakan KPK sendiri yang menyebutkan bahwa:
"Rektor UNJ sekitar tanggal 13 Mei 2020 diduga telah meminta kepada Dekan Fakultas dan Lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang THR masing-masing Rp 5 juta melalui Dwi Achmad Noor,"
Adapun uang tersebut, diserahkan ke sebagian pejabat Kemendikbud seperti Karo SDM, Analisis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud, dan Staf SDM Kemendikbud. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan publik, mengapa alih-alih melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang keterlibatan Rektor UNJ yang jelas-jelas penyelenggara negara, mengapa KPK langsung menyerahakan kasus tersebut pada Kepolisian?
Padahal KPK pernah menunjukan keberhasilannya mengusut korupsi di dunia pendidikan. Salah satunya adalah kasus Korupsi dana Perpustakaan UI yang menyeret Warek Bidang II UI Tafsir Nurchamid, dan empat pihak lainnya.