Lihat ke Halaman Asli

Elang ML

Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

DPR Pasca 22 Tahun Reformasi: Dari Tukang Stempel Presiden Jadi Tukang Bikin Perkara MK

Diperbarui: 22 Mei 2020   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/070000669/peristiwa-penting-era-reformasi?page=all

 

"Tukang stempel" merupakan istilah yang sering digunakan sebagai kritik masyarakat pada Era Orde Baru melihat DPR yang cenderung "manut" terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh eksekutif. Selain itu juga populer istilah "5 D; datang, daftar, duduk, diam, dan duit." Istilah tersebut muncul dari persepsi negatif masyarakat karena kebanyakan anggota DPR dianggap tidak berani menyurakan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dikutip dari jurnal karya Yeby Ma'asan Mayrudin, Mochtar Mas'oed menjelaskan mengenai DPR Era Orde Baru sebagai:

"... praktek pada era Orde baru sebetulnya mengulang praktek yang ada pada rezim Soekarno dimana sudah menjadi tradisi bahwa badan eksekutif langsung mengendalikan politik legislatif. Hasilnya adalah suatu parlemen yang umumnya tanggap terhadap perintah lembaga eksekutif dan dengan patuh melaksanakan perintah itu, dengan akibat mengurbankan proses pembahasan dan pertimbangan yang seksama."

Sekarang, Orde Baru sudah runtuh 22 tahun lalu. Namun, cukup jelas bahwa demokrasi Indonesia sedang berada pada fase buruk, setidaknya dalam kurun waktu pasca 1998. Aksi besar-besaran di perode akhir 2019, dan beragam kritik terhadap proses legislasi pada masa pandemi menunjukan betapa muaknya publik terhadap proses legislasi di Indonesia. Beberapa lembaga gerakan bahkan sampai memberikan stempel Orde Paling Baru sampai Orba 4.0. Artikel ini akan membahas bagaimana peninggalan kultur Orde Baru masih hidup dalam paradigma legislator kita.

Kenapa Undang-Undang Memerlukan Persetujuan DPR, dan Kenapa Harus Partisipatif?

Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat memang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran John Locke bahwa "kekuasaan untuk menetapkan hukum tidak boleh dipengang sendiri oleh mereka yang melaksanakannya", yang kemudian berkembang menjadi konsep trias politica.

Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Pasca Amandemen, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan setiap undang-undang merupakan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Adapun berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen, rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (1), diusulkan oleh DPR berdasarkan Pasal 21, dan dalam RUU dengan materi muatan tertentu dapat DPD  berdasarkan Pasal 22D.

Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi legislasi yang dalam bentuk konkretnya merupakan fungsi pengaturan berkenaan dengan norma-norma yang mengikat dan membatasi. Dengan demikian, kewenangan ini, dalam hal undang-undang yang dapat memiliki materi muatan yang membatasi hak rakyat, dapat membebani rakyat, atau mengatur pengeluaran oleh penyelenggara negara hanya bisa dilakukan sepanjang rakyat menyetujui. Maka tidak heran apabila pembentukan peraturan tertinggi setelah konstitusi yaitu udang-undang merupakan cabang kekuasaan yang pada dasarnya adalah perwakilan rakyat.

Patut dipahami bahwa pandangan tersebut adalah pandangan ahli hukum, yang dasar keilmuannya normatif. Dengan demikian, pandangan tersebut lebih menjelaskan "apa yang seharusnya terjadi" (das solen) daripada apa yang sebenarnya terjadi (das sein).

Sementara, tugas DPR terkait pembentukan undang-undang dan menyarap aspirasi masyarakat diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang MD3. Secara umum DPR memiliki tugas untuk menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan prolegnas. Selain itu juga untuk menyusun, membahas, dan menyebarluaskan prolegnas rancangan undang-undang. Menerima RUU yang diajukan oleh DPD terkait materi muatan tertentu, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah. Hal yang sangat penting diatur dalam Pasal 72 huruf (g.) yaitu; menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Tidak hanya kewajiban untuk menyerap aspirasi masyarakat, mengacu Pada Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan "keterbukaan: merupakan suatu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun, mengacu pada penjelasan Pasal 5 huruf (g.) undang-undang tersebut yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah;

" "asas  keterbukaan"  adalah  bahwa dalam  Pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan  mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,    dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan."

Selain itu, Prolegnas juga sepatutnya disusun didasarkan atas aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline