Lihat ke Halaman Asli

Elang ML

Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Rumah Ibadah, Persekusi, dan Regulasi di Indonesia

Diperbarui: 25 Februari 2019   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: suaranasional.com

            

Sebagai negara yang memiliki semboyan "Bhineka Tunggal Ika" tentu toleransi antar umat beragama merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan bernegara. Terlebih lagi hak beragama merupakan salah satu hak yang dinyatakan "tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun" berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu hak untuk beragama diatur lebih lanjut dalam Pasal 22 yang menyatakan:[1]

(1)Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

 

Mengingat beragam jaminan dalam peraturan perundang-undangan, dan beragam tulisan mengenai filosofi negara tentu hal paling lucu adalah terminologi "rumah ibadah illegal" atau "rumah ibadah tidak berizin". Namun faktanya dalam terdapat 32 gereja yang ditutup, dan 5 masjid Ahmadiyah yang ditutup dalam kurun waktu 2013-2018.[2] Tidak hanya pada gereja, kasus ancaman terhadap pendirian juga terjadi pada masjid di Manokowari.[3] Sementara di Aceh terjadi penutupan Vihara dan Gereja, yang dilakukan oleh Wali Kota Banda Aceh.[4] Beragam penutupan rumah ibadah, presekusi, serta mobilisasi massa melawan pendirian rumah ibadah minoritas bukanlah sebuah fenomena yang terjadi dengan sendirinya, melainkan produk dari regulasi yang akan dibahas dalam tulisan ini. Karena sayangnya, "rumah ibadah illegal" atau "rumah ibadah tidak berizin" merupakan suatu kenyataan hukum dalam negara yang memiliki regulasi rumit dalam perizinan rumah ibadah ini.

Pengaturan mengenai pendirian rumah ibadah di Indonesia diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negri No. 9 dan No.8 Tahun 2006.  Pasal 2 Peraturan tersebut mengamanatkan bahwa kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah, dan Pemerintah daerah. 

Peraturan Bersama dua menteri tersebut juga mengamanatkan pembentukan Forum Kerukunan Umat Bersama. Melalui kewenangan-kewenangan yang diberikan, penulis melihat bahwa FUKB ditujukan sebagai wadah lintas agama untuk berkumpul, berdialog dan menyampaikan aspirasi kepada pemegang jabatan. Sehingga terlihat semangat untuk mempertemukan umat lintas agama untuk mewujudkan kerukunan.

 

Permasalahan dalam Peraturan Bersama Dua Menteri No.9 dan No.8 Tahun 2006 terdapat dari konstruksi Pasal 13 yang menyatakan:

(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline