SOESILO Bambang Yudhoyono (SBY) sempat menggemparkan ranah politik tanah air, ketika dirinya mampu menemani pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2004. SBY yang berpasangan dengan Muhamad Jusuf Kalla sukses mengkandaskan perlawanan sang petahana, Megawati Soekarnoputri.
Megawati yang pada pilpres 2004 lalu berpasangan dengan Hasjim Muzadi kalah di putaran kedua. Dan, harus puas masuk dua besar saja. Sejak itu hingga 10 tahun kemudian, Mega dan partainya, PDI Perjuangan memantapkan diri sebagai partai oposisi. Mereka kembali masuk dalam lingkaran pemerintahan setelah akhirnya PDIP sukses mengantarkan jagoannya, Jokowi memenangi pilpres 2014.
Apa yang menyebabkan Megawati kalah pada pilpres 2004, padahal statusnya selaku petahana? tentu banyak faktor. Namun, banyak pengamat politik menilai, kekalahan Megawati disebabkan politik SBY yang menempatkan dirinya sebagai pihak yang dizalimi sukses besar. Politik playing victim SBY mampu menghipnotis publik tanah air menaruh simpati dan akhirnya menjatuhkan pilihannya. Sebaliknya, Megawati yang dianggap aktor antagonis karena dianggap telah menzalimi SBY harus mengubur impiannya sebagai presiden hasil pemilihan langsung masyarakat tanah air.
Perlu diketahui, terpilihnya Megawati jadi Presiden ke-5 RI karena menggantikan Gus Dur yang dilengserkan oleh MPR pada tahun 2001. Megawati yang kala itu sebagai wakil presiden otomatis menggantikan Gus Dur.
Kembali ke SBY. Setelah politik playing victimnya sukses besar pada pilpres 2004, dia pun akhirnya bisa mempertahankan kekuasaannya pada pilpres 2009. Jabatannya tersebut dia emban hingga tahun 2014.
Rupanya terinsipirasi dari kisah suksesnya pada pilpres 2004, perjalanan atau langkah politik SBY terus saja menerapkan sebagai pihak yang dizalimi bila ingin meraih simpati publik. Namun, cara politiknya ini sudah mulai terbaca, sehingga hasilnya pun jauh dari kata memuaskan. Tengok saja, AHY yang terjun langsung pada Pilgub DKI Jakarta 2017 harus babak belur. Kemudian, AHY harus gigit jari karena tidak masuk dalam jajaran kabinet Jokowi pada tahun 2019 lalu.
Terbaru, SBY pun kembali terus mengulang politik dizaliminya saat KLB Partai Demokrat kubu Moeldoko di gelar di Sibolangit Deli Serdang. Kali ini tidak saja SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebelumnya pernah mempraktikan politik playing victim. Mantan tentara berpangkat mayor itu mengumumkan ke publik bahwa posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat tengah digoyang dengan adanya sejumlah pihak yang akan mengkudetanya.
Tak ayal, saat mencuatnya pengumuman isu kudeta, penilaian publik terhadap AHY beragam. Ada yang mengatakan hal itu cara-cara lama ayahnya demi mendapatkan dukungan dan simpati publik. Ada pula yang menilai, hal tersebut merupakan trik politik AHY guna mendongkrak popularitasnya. Sebab meski statusnya sebagai ketua umum partai, namanya masih kalah mentereng dibanding Mensos Risma atau Sandiaga Uno. Apalagi bila dibandingkan dengan Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan maupun Ridwan Kamil.
Sekarang, apa yang diumumkan AHY menjadi kenyataan. Kudeta yang dimaksudnya benar-benar terjadi, saat KSP Moeldoko akhirnya didaulat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, (5/3/21).
Namun di balik semua kisruh atau tantangan besar yang tengah dihadapi Partai Demokrat kubu AHY, secara individualistis, kakak kandung Edhy Baskoro Yudhoyono atau Ibas ini mulai memetik hasilnya.
Politik dizalimi ala SBY yang diterapkan AHY mampu mengantarkannya pada posisi empat besar hasil survei Indonesia Elections and Strategic (indEX) yang dirilis pada Jumat (12/3/21).